Tak Hanya Produk, Investor Juga Harus Jeli Pilih Manajer Investasi
Reksa dana memang berisiko minimal dan memudahkan masyarakat yang memiliki pemahaman rendah soal investasi. Namun, sejumlah kasus yang melibatkan manajer investasi belakangan ini menjadi risiko yang perlu diwaspadai.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
Reksa dana, menurut Otoritas Jasa Keuangan, dinilai sebagai instrumen investasi yang cocok bagi investor yang memiliki banyak keterbatasan, seperti keterbatasan waktu, dana, informasi, ataupun pengetahuan investasi. Keterbatasan itu dapat diatasi karena adanya manajer investasi.
Namun, instrumen investasi yang pertama kali diperkenalkan di Indonesia tahun 1995 itu juga tidak lepas dari risiko. Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), ada sejumlah risiko yang harus diperhatikan. Risiko itu antara lain terkait dengan tidak dijaminnya keuntungan, kemudahan penjualan efek, kepatuhan, dan manajer investasi yang mengelola dana investasi.
Terkait dengan risiko-risiko tersebut, beberapa waktu belakangan, sejumlah perusahaan manajemen investasi reksa dana diketahui bermasalah karena kasus gagal bayar. Salah satunya adalah PT Minna Padi Aset Manajemen.
Pada November 2019, OJK membubarkan enam produk yang diterbitkan PT Minna Padi Aset Manajemen. Minna Padi menjual produk berbasis saham dengan menjanjikan hasil investasi fixed return, praktik yang dilarang OJK.
Risiko investasi reksa dana seperti itu juga disadari nasabah seperti Adit (27). Namun, ia berusaha meminimalkannya dengan mengandalkan aplikasi teknologi finansial (tekfin), yang dapat menghubungkannya dengan manajer investasi.
”Aku beli semua lewat aplikasi, sih. Memudahkan banget soalnya,” kata karyawan swasta tersebut kepada Kompas, Senin (17/2/2020).
Dua tahun terakhir ini, ia menggunakan aplikasi tekfin khusus investasi dan e-dagang untuk membeli produk reksa dana. Melalui salah satu aplikasi, ia terbantu untuk mengetahui profil risiko perusahaan berdasarkan algoritma.
Tak berhenti di situ, ia juga mencoba memahami risiko dari produk investasi yang dipilihnya. Seperti saat ini, ia menghindari produk reksa dana saham yang sedang lesu. Kini, ia memilih investasi pasar uang dan obligasi.
Upaya menghindari risiko investasi reksa dana saham juga dilakukan Diana (32). Ia memilih berinvestasi di produk pendapatan tetap yang berisiko rendah. ”Niatnya buat dana cadangan aja, sih. Yang penting nabung,” ujarnya.
Berdasarkan survei Jakpat pada 2018, sebanyak 1.764 orang (88,2 persen) dari 2.000 orang yang berinvestasi lebih mempertimbangkan likuiditas (987 orang) dan kemudahan (881 orang). Selain itu, risiko minimal juga dipertimbangkan (860 orang). Survei itu dilakukan terhadap responden usia 20-39 tahun.
Pengamat investasi dan pendiri LBP Institute, Lucky Bayu Purnomo, kepada Kompas mengatakan, investor tetap perlu mengantisipasi risiko ”bermain” reksa dana. Ia menjelaskan, setidaknya ada enam hal yang perlu diperhatikan dan diperhitungkan.
Pertama, memastikan pengembalian (redemption) dilakukan secara periodik dan konsisten oleh produk reksa dana. Lalu, memperhatikan produk reksa dana memiliki nilai pertumbuhan di rata-rata pertumbuhan industri.
Selanjutnya, memperhatikan portofolio yang menjadi alokasi investasi produk tersebut. Untuk reksa dana saham, pahami tingkat risiko yang wajar sesuai dengan perbandingan kinerja risiko produk sejenis dan kinerja indeks harga saham gabungan secara periodik.
”Investor juga perlu mengecek, apakah jumlah dana kelolaan dan UP (unit penyertaan) atau NAB (nilai aktiva bersih) memiliki peningkatan jumlah dari antarwaktu dan sesuai dengan imbal hasil. Jumlah dana kelolaan dan UP dapat terus berubah sewaktu-waktu,” ucapnya.