Rencana Kementerian Kelautan dan Perikanan mengundang investor kapal asing dalam pemanfaatan zona ekonomi eksklusif atau ZEE Indonesia menuai polemik. Sebelumnya, rencana kebijakan ekspor benih lobster juga menuai pendapat pro dan kontra masyarakat.
Hal itu terungkap dalam Forum Konsultasi Publik ”Arah Baru Kebijakan: Bergerak Cepat untuk Kesejahteraan, Keadilan, dan Keberlanjutan” yang digelar Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KP2 KKP) pada 5 Februari 2020.
Dalam paparannya, tim penasihat menteri memberi sinyal pembukaan hak pengelolaan untuk 14 sentra kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) kepada pengusaha nasional dan perusahaan asing. Hak pengelolaan perusahaan asing melalui penanaman modal asing (PMA) atau kerja sama operasi (KSO) dengan memberikan izin kapal penangkapan ikan sesuai jumlah tangkapan yang dibolehkan. Hal lain, kapal-kapal buatan luar negeri yang dimiliki pengusaha Indonesia bisa kembali beroperasi mengisi ZEE Indonesia.
Pada 2015-2019, usaha perikanan tangkap tertutup dari modal asing. Kapal buatan luar negeri juga dilarang beroperasi. Berdasarkan analisis dan evaluasi tim Satuan Tugas Penangkapan Ikan Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur (Satgas 115) terhadap 1.132 kapal buatan luar negeri, semua kapal melanggar dan sebagian kapal ditengarai milik pemodal asing.
Pemerintah menyebutkan, pemanfaatan ZEE Indonesia yang belum optimal oleh kapal dalam negeri menyebabkan zona itu rawan penangkapan ikan ilegal oleh kapal asing. Klaim sepihak China terhadap ZEE Laut Natuna Utara yang merupakan hak berdaulat Indonesia, misalnya, menegaskan upaya memperkuat kehadiran fisik kapal Indonesia di perairan tersebut.
Selain Laut Natuna Utara, ada enam wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yang berbatasan dengan ZEE Indonesia dan laut lepas yang memerlukan penguatan kapal besar, antara lain WPP 716 (Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera), WPP 717 (Teluk Cendrawasih dan Samudra Pasifik), serta WPP 718 (Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian timur).
Merujuk data Kementerian Kelautan dan Perikanan, kini ada 1.623 kapal Indonesia di perairan ZEE Indonesia. Jumlah itu belum banyak, antara lain karena aturan pembatasan ukuran kapal perikanan untuk kapal baru dan kenaikan pungutan hasil perikanan hampir 10 kali lipat untuk kapal di atas 200 gros ton (GT).
Upaya menunjukkan hak berdaulat Indonesia di ZEE sepatutnya dilakukan dengan memperkuat armada perikanan nasional. Armada yang kuat turut menjadi ”mata” bagi negara dalam mengawasi pergerakan kapal asing. Penguatan armada perikanan nasional sekaligus akan menumbuhkan industri galangan kapal ikan dalam negeri.
Sebaliknya, penguatan armada perikanan nasional sulit terwujud jika harus berhadapan dengan kapal asing yang diizinkan masuk ke Indonesia. Pelaku usaha perikanan sulit bersaing dari segi teknologi dan permodalan. Maka, sulit mengharapkan pelaku usaha dalam negeri naik kelas.
Dalam tulisan opini di Kompas, September 2016, Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (alm) Melda Kamil Ariadno mengingatkan, Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk membagikan sumber daya ikannya kepada kapal ikan asing. Selain itu, tentu saja ”tidak harus dan tidak perlu” memberikan hak akses kepada negara lain dan kapal ikan asing untuk menangkap di ZEEI. Mengapa mesti mengundang asing jika Indonesia mampu memanfaatkan sumber daya ikan?
Setidaknya dalam lima tahun terakhir, Indonesia telah berupaya memberantas penangkapan ikan ilegal dengan menindak kapal ikan eks asing dan kapal ikan asing yang melakukan kejahatan dengan mencuri dan melarikan ikan ke luar negeri. Dengan kondisi stok ikan yang mulai pulih, pemerintah wajib mengisi ZEEI dengan kapal Indonesia ”murni” yang tidak didomplengi pihak asing mana pun.
Mengapa mesti mengundang asing jika Indonesia mampu memanfaatkan sumber daya ikan?
Apabila Indonesia belum mampu, sekarang ini merupakan momentum untuk membangkitkan armada perikanan nasional. Dengan segala daya upaya, industri perikanan dan galangan kapal harus diberi peluang untuk berkembang. Saatnya pemerintah kembali pada marwah pengelolaan perikanan menuju kesejahteraan, keadilan, dan keberlanjutan.