Mimpi Sejahtera Buruh Jakarta: Puluhan Tahun Bekerja, Tempat Tinggal Masih ”Ngontrak”
Bagi sebagian keluarga buruh, puluhan tahun bekerja di pabrik tak menjamin bisa mendapat hidup laik. Beberapa di antara mereka masih tinggal di rumah kontrak yang sangat sederhana.
Hujan turun di barisan rumah petak yang berada di RT 007 RW 008 Kelurahan Kedaung Kali Angke, Cengkareng, Jakarta Barat, Minggu (16/2/2020) siang. Jika hujan lebat berlangsung lebih dari lima jam, penghuni rumah sewa ini sudah waswas bakal terkena banjir.
”Kalau kali di depan (Cengkareng Drain) penuh, sudah selesai kami di sini,” kata Tugini (50) menyuarakan kegelisahannya. Cengkareng Drain hanya berjarak sekitar 50 meter dari rumah kontrak ini.
Tugini merupakan mantan buruh. Ia pernah bekerja di pabrik kecap dan konveksi. Namun, setelah anak pertamanya lahir, ia memutuskan berhenti.
Ia kini menerima orderan untuk menjahit baju anak-anak. Selama seminggu, ia mendapat Rp 200.000.
Sementara suaminya, Sumiyanto (51), bekerja di salah satu pabrik baterai di Bekasi, Jawa Barat. Sumiyanto sudah bekerja di pabrik itu selama 25 tahun. ”Sekarang, gaji suami saya sekitar Rp 6 juta, tetapi itu sudah sama lembur dan tunjangan-tunjangan,” katanya.
Baca juga: RUU Cipta Kerja Dinilai Melenceng dari Tujuan Awal
Dengan pendapatan itu, keluarga ini belum mampu membeli rumah. ”Jangankan membeli rumah, menyewa rumah yang laik dan ada keramiknya saja kami masih mikir-mikir,” katanya.
Rumah kontrak selebar 3 meter ini disekat menjadi tiga ruangan. Kamar Tugini dan Sumiyanto berada di ruangan tengah. Anak sulungnya yang berusia 28 tahun tidur di atas loteng yang disulap menjadi kamar darurat.
Rumah ini mereka sewa seharga Rp 700.000 per bulan. Mereka pun masih harus membayar biaya listrik dan air Rp 400.000 per bulan. ”Belum lagi hajatan tetangga atau ada keluarga yang sakit di Yogyakarta, ya uangnya muter-muter di situ saja,” katanya.
Keluarga ini sudah tinggal di rumah petak ini sejak anak pertamanya berusia lima tahun. Waktu itu uang sewa masih Rp 50.000 per bulan. Kini, anak pertamanya itu sudah berusia 28 tahun dan sudah bekerja pula sebagai buruh di pabrik kecap. Namun, mereka masih tinggal di kontrakan.
Baca juga: Jaga Daya Tawar Buruh
Dulu, Tugini merantau ke Jakarta karena iri melihat orang-orang di kampungnya. Orang-orang Yogyakarta yang merantau ke Jakarta waktu itu berpakaian bagus sewaktu pulang Lebaran.
”Dulu membayangkan tinggal di jakarta itu enak. Enggak tahunya begini-begini saja,” katanya.
Situasi serupa juga dialami Sri Rahayu (42) dan Dauri (42). Pasangan suami-istri yang mengontrak di Grogol Utara, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, ini pernah menjadi buruh.
Sri pernah bekerja di perusahaan yang memproduksi celana dalam. Ia memutuskan mundur dari pekerjaan tahun 2011. Saat itu, perusahaan sedang gonjang-ganjing dalam merespons isu kenaikan upah. Sri yang sudah bekerja 19 tahun di perusahaan itu digaji sebesar Rp 1,7 juta.
Baca juga: Pengusaha Optimistis UU Cipta Kerja Tingkatkan Serapan Tenaga Kerja
”Ada informasi waktu itu upah akan dinaikkan menjadi sekitar Rp 2 juta. Namun, saya memilih mundur duluan karena sudah dapat informasi perusahaan tidak sanggup dan akan segera ditutup. Selain itu, saya juga berencana untuk memulai usaha,” katanya.
Berdasarkan kebijakan perusahaan waktu itu, Sri mendapat enam kali gaji. Ia juga mendapat sekitar Rp 17 juta dari Jaminan Sosial Tenaga Kerja atau Jamsostek (kini Jamsostek berubah nama menjadi BPJS Ketenagakerjaan).
Sementara suami Sri, Dauri, pernah bekerja di usaha konveksi rumah tangga. Usaha itu bangkrut dan Dauri keluar tahun 2016 tanpa mendapat pesangon.
Kini, suami-istri ini bekerja sebagai pedagang makanan. Sri menjual bubur, sementara Dauri menjual cilor.
Selama belasan tahun bekerja di pabrik, Sri dan keluarga masih mengontrak. Ia menghuni rumah selebar 1,8 meter di Grogol Utara dengan uang sewa Rp 7 juta per tahun.
Rumah itu juga dibagi menjadi tiga ruangan. Ruangan tengah adalah satu-satu kamar di rumah ini. Di situ, Sri dan tiga anaknya (salah satu anak perempuannya sudah berusia 18 tahun) tidur. Sementara Dauri tidur di luar kamar atau di ruang tamu.
”Dari dulu maunya beli rumah sendiri. Tetapi dengan penghasilan Rp 1,7 juta per bulan ditambah penghasilan bapak di konveksi waktu itu, hasilnya cuma cukup buat kebutuhan sehari-hari,” katanya.
Baca juga: ”Omnibus Law” dan Kekhawatiran Buruh
Endang (41), buruh yang sudah bekerja selama 20 tahun di perusahaan obat batuk di Bogor, Jawa Barat, juga masih tinggal di rumah sewa. Endang bersama ibu, kakak, suami, dan dua anaknya mengontrak di depan rumah Sri.
Setiap pukul 06.00, ibu dua anak ini sudah menunggu bus jemputan. Lalu, ia kembali ke rumah menjelang magrib.
Dengan penghasilan total Rp 3,8 juta per bulan, Endang masih belum berani untuk mengajukan kredit rumah. Suami Endang juga bekerja di perusahaan yang sama. Penghasilan mereka relatif sama. ”Tabungan dari dulu tidak pernah cukup. Ada saja pengeluaran tak terduga,” katanya.
Setiap bulan, gaji suaminya habis untuk kebutuhan sehari-hari. Sebagian dari pendapatannya juga terpakai untuk membayar arisan. ”Belum lagi kredit baju dan sebagainya,” katanya.
Keluarga ini sudah lama berencana untuk membeli rumah. Namun, tabungan mereka belum cukup. ”Sekarang tabungan kami baru sekitar Rp 20 juta. Ngumpulin dulu deh banyak-banyak. Kalau sudah cukup, baru tuh,” katanya.
Aturan baru
Endang bercerita, serikat pekerja di kantornya sedang gencar membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang punya implikasi terhadap kehidupan buruh. Meski tidak mengetahui detail rancangan aturan baru itu, ia berharap aturan tersebut dapat membuat buruh lebih sejahtera.
”Mudah-mudahan perusahaan tambah bagus, gaji naik, dan enggak ada PHK (pemutusan hubungan kerja),” katanya.
Catatan Kompas, pemerintah sudah menyerahkan draf RUU Cipta Kerja ke DPR untuk dibahas bersama-sama. Draf UU sapu jagat itu menuai pro-kontra di publik. Serikat buruh merasa tidak dilibatkan dalam penyusunan RUU.
Serikat buruh juga menilai bahwa RUU itu menghapus beberapa pasal perlindungan terhadap buruh yang sebelumnya diatur dalam UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal yang dihapus antara lain Pasal 169 Ayat (2) dan Pasal 172. Selama ini, dua pasal itu memberikan perlindungan finansial dan hukum terhadap pekerja yang diputus hubungan kerja (PHK) atau ingin mengajukan PHK.
Sementara, menurut pemerintah, RUU itu menjadi pembuka jalan bagi transformasi struktural ekonomi Indonesia. RUU ini juga dinilai akan memuluskan masuknya investasi dan menciptakan banyak lapangan kerja.