Revisi 29 peraturan tentang kelautan dan perikanan diharapkan menjawab tantangan pembangunan yang berkelanjutan. Kepentingan ekonomi dan keberlanjutan sumber daya harus seimbang.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menargetkan merevisi peraturan yang dinilai menghambat investasi. Namun, kepentingan ekonomi dan keberlanjutan harus berjalan seimbang.
Direktur Kelautan dan Perikanan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Sri Yanti Wibisana, di Jakarta, Kamis (13/2/2020), menyatakan, rencana pembukaan ekspor benih lobster harus dikaji hati-hati karena terkait plasma nutfah.
Pengelolaan lobster perlu diarahkan untuk pengembangan budidaya atau pembesaran di dalam negeri agar manfaat ekonomi dinikmati masyarakat.
Wakil Sekretaris Jenderal Masyarakat Perikanan Nusantara Miftah Fahmi mengemukakan, revisi kebijakan sebaiknya mengizinkan penangkapan benih lobster untuk budidaya pembesaran, tetapi tetap melarang ekspor benih.
Komitmen pemerintah untuk pengembangan budidaya lobster perlu dibuktikan melalui riset terkait lobster, peningkatan kelangsungan hidup (SR) benih, dan mengembangkan pembenihan.
”Teknik budidaya perlu dikembangkan ke seluruh daerah agar permintaan benih lobster dalam negeri naik,” ujarnya.
Miftah menambahkan, jika ekspor benih lobster tetap akan dibuka, budidaya lobster di Tanah Air tidak akan berkembang. Pembudidaya akan bersaing dengan pengepul atau eksportir benih untuk pembelian benih lobster. Di sisi lain, benih lobster terancam punah jika kontrol tidak berjalan baik.
Kapal asing
Sejumlah kalangan meminta pemerintah mengurungkan rencana membuka investasi asing di usaha perikanan tangkap untuk perairan zona ekonomi eksklusif Indonesia. Kebijakan itu dinilai bertentangan dengan upaya memajukan usaha perikanan dalam negeri, termasuk usaha galangan kapal ikan.
Dalam forum konsultasi publik Arah Baru Kebijakan: Bergerak Cepat untuk Kesejahteraan, Keadilan, dan Keberlanjutan yang digelar Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik Kementerian Kelautan dan Perikanan (KP2 KKP), 5 Februari 2020, tim penasihat menteri memaparkan rencana pemberian hak pengelolaan 14 sentra kelautan dan perikanan terpadu (SKPT) kepada pengusaha nasional atau perusahaan asing.
Hak pengelolaan untuk perusahaan asing diberikan melalui penanaman modal asing (PMA) atau kerja sama operasi (KSO) dengan memberikan izin kapal penangkapan ikan sesuai jumlah tangkapan yang dibolehkan.
Kepala Bidang Hukum dan Advokasi Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) Muhammad Billahmar mengingatkan, rencana mengundang investasi asing untuk kapal penangkap ikan bertentangan dengan marwah arah baru kebijakan KKP yang disampaikan dalam forum konsultasi publik, yakni mengusung kesejahteraan, keadilan, dan keberlanjutan.
Rencana mengundang kapal asing dinilai akan membuka peluang asing mengeruk kekayaan dan sebaliknya menutup peluang nelayan dalam negeri untuk tumbuh dan mengelola sumber daya ikan. Apabila sekarang kapal nelayan Indonesia dinilai masih belum mampu memanfaatkan ZEE, kebijakan seharusnya diarahkan untuk membangun armada perikanan nasional dan galangan di dalam negeri.
Tidak adil
Ia juga menyoroti rancangan peraturan menteri tentang usaha perikanan tangkap yang tidak membatasi ukuran maksimum kapal penangkap ikan yang beroperasi di ZEE Indonesia, tetapi mensyaratkan batas minimum ukuran kapal, yakni 150 gros ton (GT). Pengaturan itu membuka peluang kapal asing ukuran besar masuk memanfaatkan ZEE Indonesia dan sebaliknya kapal Indonesia yang berukuran di bawah 150 GT yang selama ini melaut di ZEE terancam tersingkir.
Ironisnya, perusahaan asing yang menangkap ikan di ZEE Indonesia melalui mekanisme PMA/KSO berpeluang menikmati izin usaha di Indonesia tanpa batas waktu. Dalam rancangan peraturan menteri terkait usaha perikanan tangkap, Pasal 10, surat izin usaha perikanan (SIUP) berlaku selama melakukan usaha perikanan tangkap.
”Di mana rasa keadilan ketika kapal milik asing yang berukuran besar dibiarkan masuk dan memanfaatkan sumber daya ikan Indonesia? Pemerintah jangan asal membuka izin kapal asing, tetapi menindas nelayan di negeri sendiri,” kata Billahmar.
Hal senada dikemukakan Sekretaris Jenderal Himpunan Nelayan Purse Seine Nusantara Rendra Purdiansa. Arah kebijakan perikanan tangkap dikhawatirkan justru mengancam nasib pelaku usaha kapal perikanan dalam negeri. Pemerintah seharusnya fokus mendorong pengembangan galangan kapal dalam negeri.