Kekurangan Tebu dan Mesin Tua, Pabrik Gula di Jabar Tutup Lagi
Pabrik Gula Sindanglaut di Kabupaten Cirebon terpaksa tutup pada masa giling 2020 karena kekurangan tebu. Penutupan pabrik yang mengandalkan mesin tua ini menambah daftar panjang bangkrutnya pabrik gula di Jawa Barat.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
CIREBON, KOMPAS — Pabrik Gula Sindanglaut di Kabupaten Cirebon terpaksa tutup pada masa giling tebu 2020 karena kekurangan tebu. Penutupan pabrik yang mengandalkan mesin tua ini menambah daftar panjang bangkrutnya pabrik gula di Jawa Barat. Lebih dari 1.000 petani dan pekerja pun terdampak.
General Manager Unit PG Sindanglaut Wisri Mustofa mengatakan, jajaran direksi PG Rajawali II yang termasuk dalam RNI Group (Persero) telah memutuskan PG Sindanglaut tidak lagi menggiling tebu pada tahun ini. ”Kami sudah menyosialisasikan ini kepada organisasi petani tebu dan pekerja. Memang ada yang menerima dan menolak,” katanya, Jumat (14/2/2020), di Cirebon.
Salah satu penyebabnya, pabrik kekurangan bahan baku. Dari target 166.000 ton tebu, PG Sindanglaut hanya mampu memenuhi 129.000 ton tebu hingga akhir 2019. Produksi itu berasal dari sekitar 2.200 hektar lahan tebu yang tersebar di sekitar pabrik.
Kami sudah menyosialisasikan ini kepada organisasi petani tebu dan pekerja. Memang ada yang menerima dan menolak.
Kondisi serupa dialami PG Tersana Baru yang hanya memenuhi 2.090 ton tebu dari sekitar lahan 2.000 hektar. Padahal, targetnya 2.190 ton tebu. Jika kedua pabrik beroperasi, masa giling di bawah 100 hari. ”Kedua pabrik pasti mengalami kerugian. Kalau 100 hari giling saja, itu baru BEP (break even point/titik impas),” ujarnya.
Kerugian terjadi karena biaya operasional mesin giling, seperti bahan bakar tidak sebanding dengan bahan baku yang tersedia. Dengan menggiling seluruh tebu dalam satu pabrik, kerugian dapat diantisipasi. ”Pilihannya, PG Tersana Baru. Kapasitas giling dan kinerja pabrik ini lebih bagus,” ujarnya.
Kapasitas giling PG Tersana Baru mencapai 3.000 ton tebu per hari, jauh melebihi PG Sindanglaut yang hanya 1.800 ton tebu per hari. Tahun lalu, rendemennya tercatat 7,44 persen, sedangkan rendemen PG Sindanglaut 6,98 persen. Tahun ini, rendemen di Tersana Baru ditargetkan 7,65-7,77 persen. Semakin tinggi rendemen, produksi gula pun meningkat.
”Akhirnya, petani juga yang diuntungkan,” ucap Wisri yang juga GM Unit PG Tersana Baru. Hasil produksi gula akan dibagi dua, yakni 66 persen untuk petani dan sisanya milik pabrik.
Di sisi lain, mesin di PG Tersana Baru yang dioperasikan sejak 1937 sedang dibenahi. Mesin dari PG Subang yang tutup sejak 2018 juga dialihkan ke Tersana Baru. ”Peningkatan kapasitas mesin ini membutuhkan biaya sekitar Rp 21 miliar. Sementara peningkatan mesin di PG Sindanglaut butuh investasi lebih besar, tiga kali lipat,” kata Wisri, melanjutkan.
Itu sebabnya, menurut Wisri, PG Sindanglaut yang dibangun pada 1832 itu bisa kembali beroperasi selama bahan baku dan investasi tersedia. Terkait nasib sekitar 400 karyawan pabrik, pihaknya masih mengkajinya sesuai aturan ketenagakerjaan yang berlaku.
Menolak
Forum Petani Tebu Sindanglaut (FPTS) menolak penutupan PG Sindangkaut karena akan berdampak pada sekitar 1.100 petani. Pengalihan giling tebu dari Sindanglaut ke Tersana Baru dinilai menambah ongkos angkut tebu sekitar Rp 2.000 hingga Rp 4.000 per kuintal (100 kilogram) tergantung jaraknya.
”Padahal, ongkos tanam tebu semakin naik. Dua tahun lalu, bibit tebu masih Rp 75.000 per kuintal. Sekarang, sampai Rp 115.000 per kuintal,” kata Ketua FPTS Mae Azhar.
Kondisi tersebut, katanya, malah membuat pabrik gula kian kesulitan bahan baku. Dia mencontohkan, ketika PG Karangsuwung ditutup dan mengalihkan giling ke PG Sindanglaut, areal tebu di PG Karangsuwung nyaris hilang. Oleh karena itu, pihaknya mendorong audit menyeluruh dilakukan di PG Sindanglaut.
Padahal, ongkos tanam tebu semakin naik. Dua tahun lalu, bibit tebu masih Rp 75.000 per kuintal. Sekarang, sampai Rp 115.000 per kuintal.
Sejumlah pemerintah desa di sekitar pabrik juga meminta penutupan PG Sindanglaut dikaji ulang. Lahan tebu selama ini mampu memberikan pemasukan kepada desa. Satu hektar biasanya disewa Rp 7 juta.
”Sekitar 41 hektar lahan tebu di Kanci terbengkalai karena isu penutupan PG Sindanglaut. Lahan kami cocok untuk tebu karena lahan tadah hujan. Kalau padi, cuma satu kali tanam,” ujar Sekretaris Desa Kanci Darma Saputra.
Haerudin, Kuwu (Kepala Desa) Japurabakti, mengatakan, penutupan PG Sindanglaut akan berdampak pada sekitar 200 warga desa yang bekerja di pabrik. ”Kasihan masyarakat kami,” ucapnya.
Penutupan PG Sindanglaut menambah daftar panjang bangkrutnya pabrik milik perusahaan pelat merah itu. Sebelum 1995, ada delapan pabrik gula di Jawa Barat. Kini, tersisa PG Tersana Baru dan PG Jatitujuh yang masih menggiling tebu.