Jaga Daya Tawar Buruh
RUU Cipta Kerja tak lagi memuat beberapa ketentuan perlindungan buruh. Untuk itu, pembahasan RUU itu mesti dilakukan mendalam dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Daya tawar buruh tetap perlu dijaga.
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang diserahkan pemerintah ke DPR tak lagi memuat beberapa ketentuan perlindungan bagi buruh yang sebelumnya ada di UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Ini membuat daya tawar buruh terancam tereduksi. Daya tawar buruh itu perlu dijaga.
Beberapa pasal yang dihapus itu antara lain Pasal 169 Ayat (2) dan Pasal 172. Selama ini, kedua pasal itu memberi perlindungan finansial dan hukum terhadap pekerja yang diputus hubungan kerja (PHK) atau ingin mengajukan PHK. Pasal 169 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan itu mengatur, buruh yang di-PHK bisa mendapat uang pesangon dua kali dari standar pesangon yang sudah diatur.
Pesangon dua kali itu bisa diberikan dalam kondisi tertentu, antara lain jika dalam sengketa perselisihan hubungan industrial, pengusaha terbukti menganiaya, mengancam buruh, tidak membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut, atau tidak melakukan kewajiban yang dijanjikan ke buruh.
Pemberian pesangon dua kali juga ditiadakan lewat penghapusan Pasal 172. Pasal 172 di UU Ketenagakerjaan itu mengatur, buruh yang mengalami sakit berkepanjangan dan cacat akibat kecelakaan kerja dapat mengajukan PHK dan diberikan uang pesangon dua kali upah/gaji.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Indonesia (FSPI) Indra Munaswar, di Jakarta, Kamis (13/2/2020), mengatakan, pemberian dua kali pesangon dalam kasus tertentu itu selama ini banyak membantu buruh yang di-PHK atau mengajukan PHK.
Penghapusan Pasal 169 membuat kabur aturan terkait hak buruh untuk mengajukan gugatan atau permohonan PHK ke pengadilan. Pasal itu sedianya mengatur, buruh bisa mengajukan permohonan PHK ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika pengusaha merugikan buruh.
Buruh, kata Indra, juga bisa menggugat perusahaan jika perusahaan itu menganiaya dan mengancam buruh, tidak membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut atau lebih, dan tidak melakukan kewajiban yang dijanjikan kepada buruh. Pasal itu selama ini memberikan ruang perlindungan hukum bagi pekerja yang merasa diperlakukan dengan tidak adil oleh perusahaan.
Kasus yang paling banyak muncul umumnya karena upah yang lama tidak dibayar. ”Jika pasal itu dihapus, daya tawar buruh terhadap perusahaan semakin lemah,” katanya.
Kasus yang paling banyak muncul umumnya karena upah yang lama tidak dibayar. Jika pasal itu dihapus, daya tawar buruh terhadap perusahaan semakin lemah.
Ia menambahkan, ada sejumlah pasal yang di UU No 13/2003 sekarang diatur dengan gamblang, tetapi dalam draf RUU Cipta Kerja diubah memakai bahasa bersayap atau tidak detail. Itu berpotensi memunculkan kerancuan pada tahap penerapan atau berpotensi menjadi pasal karet.
Sebagai contoh, meski Pasal 169 Ayat (1) dihapus, sanksi pidana untuk pengusaha tetap diatur dalam Pasal 185, bahwa perusahaan yang tidak membayar upah pekerja sesuai ketentuan bisa dipidana. Namun, tidak ada aturan gamblang dan detail mengenai hak buruh untuk mengajukan permohonan PHK ke pengadilan.
Baca juga: Pembonceng ”Omnibus”
Demikian pula Pasal 159, yang awalnya mengatur dengan jelas hak buruh untuk menggugat perusahaan ke pengadilan jika buruh tidak setuju di-PHK, dihapus. RUU Cipta Kerja hanya mengatur dalam Pasal 151 Ayat (2) bahwa penyelesaian PHK yang tidak disepakati pengusaha dan buruh dapat dilakukan lewat prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
”Asas keadilan dan perlakuan yang sama secara hukum, baik untuk pengusaha maupun pekerja, itu perlu. Kalau ketentuan itu dihilangkan, berarti menutup ruang bagi pekerja menggunakan haknya untuk mendapat perlindungan dan kesetaraan hukum,” katanya.
Kalau ketentuan itu dihilangkan, berarti menutup ruang bagi pekerja menggunakan haknya untuk mendapat perlindungan dan kesetaraan hukum.
Sementara Ketua Umum Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos mengatakan, KASBI tetap tegas menolak RUU Cipta Kerja. KASBI juga menolak dilibatkan dalam Tim Koordinasi Pembahasan dan Konsultasi Publik Substansi Ketenagakerjaan yang dibentuk pemerintah dan melibatkan pengusaha dengan buruh.
Dalam rapat tim konsultasi publik itu pada Kamis siang, Nining bersama sejumlah serikat buruh lainnya meninggalkan ruang rapat setelah menyatakan protes mereka atas isi draf RUU tersebut.
”Jelas kami menolak. Perspektif RUU ini seolah-olah bagaimana upah buruh didorong lebih murah, bagaimana buruh mudah didapat dan mudah di-PHK,” kata Nining.
Pemerintah menampik
Pemerintah menampik anggapan bahwa RUU Cipta Kerja itu mereduksi hak dan perlindungan buruh. Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Kementerian Ketenagakerjaan Haiyani Rumondang mengatakan, buruh sudah dilibatkan dalam proses penyusunan draf.
Pertengahan November 2019, pemerintah sudah mengundang pimpinan sejumlah asosiasi buruh. Pertemuan itu untuk meminta masukan dari perwakilan buruh untuk sejumlah isu krusial ketenagakerjaan.
”Saya saksinya. Seluruh direktur kami hadir. Saya yang pimpin langsung. Kami sudah tanyakan ke perwakilan buruh soal pesangon, PHK, jaminan kehilangan pekerjaan. Kami bahas isu-isu yang selama ini diregulasi perlu diperbaiki,” ujarnya.
Baca juga: Investasi Jangan Abaikan Kepentingan Buruh
Terkait beberapa pasal yang dihapus mengenai mekanisme PHK, Haiyani mengatakan, buruh tidak perlu khawatir karena UU No 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tetap berlaku.
”UU PHI tidak diubah dengan adanya RUU Cipta Kerja ini. Jadi, prosedurnya tetap ada diatur, tidak bisa PHK sepihak. Pekerja yang merasa di-PHK sepihak bisa silakan memproses,” katanya.
Libatkan seluruh pihak
Di tengah persoalan substansi RUU yang problematik, target waktu pembahasan RUU Cipta Kerja terhitung cepat. Presiden Joko Widodo sebelumnya menargetkan RUU ini bisa selesai dibahas oleh DPR dan pemerintah selama 100 hari kerja.
Berdasarkan hasil rapat lanjutan Tim Koordinasi Pembahasan dan Konsultasi Publik Substansi Ketenagakerjaan RUU Cipta Kerja yang dibentuk oleh pemerintah dan melibatkan pengusaha dengan buruh di Jakarta, Kamis (13/2/2020), RUU Cipta Kerja ditargetkan rampung pertengahan Mei.
RUU Cipta Kerja juga ditargetkan selesai bersamaan dengan rancangan peraturan pelaksanaannya. Untuk itu, tim konsultasi publik akan bekerja secara maraton selama empat minggu ke depan untuk membahas substansi RUU, bersamaan dengan proses politik pembahasan di parlemen antara DPR dan pemerintah.
Sekretaris Eksekutif Labor Institute Indonesia Andy William Sinaga mengatakan, RUU itu perlu segera direspons tiga pemangku kepentingan dalam sistem hubungan industrial nasional, yakni pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja.
”DPR dalam membahas RUU Cipta Kerja perlu membuka diri menerima masukan dari tiga pemangku kepentingan hubungan industrial tersebut,” katanya.
Sementara itu, sejumlah fraksi di DPR sudah menyiapkan rencana untuk mendalami dua draf omnibus law yang telah dikirimkan pemerintah ke DPR. Mereka berjanji melibatkan pihak-pihak yang akan terdampak saat menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM).
Baca juga: Penyusunan DIM ”Omnibus Law” Bakal Dengarkan Suara Publik
Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Trimedya Panjaitan, mengatakan, dalam penyusunan DIM RUU Perpajakan dan Cipta Kerja, Fraksi PDI-P berjanji akan seluas mungkin melibatkan pihak-pihak terkait dan terdampak.
”Fraksi PDI-P berjanji akan menyinergikan kepentingan buruh, pengusaha, dan pemerintah. Dengan demikian, tak ada yang dirugikan,” katanya.
Fraksi PDI-P berjanji akan menyinergikan kepentingan buruh, pengusaha, dan pemerintah. Dengan demikian, tak ada yang dirugikan.
Anggota DPR Fraksi Demokrat, Herman Khaeron, berpendapat, penting untuk melakukan konsultasi publik dengan pihak-pihak terkait dan menjaring aspirasi dari berbagai media serta masukan masyarakat.
Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Anton J Supit mengatakan, RUU Cipta Kerja diharapkan meningkatkan investasi dan lapangan kerja. Lapangan kerja ini dibutuhkan puluhan juta orang di Indonesia.
Baca juga: Pengusaha Optimistis UU Cipta Kerja Tingkatkan Serapan Tenaga Kerja
Tahun lalu, pengangguran terbuka di Indonesia sebanyak 7,05 juta orang. Selain itu, setiap tahun ada penganggur baru sekitar 2,24 juta orang, setengah menganggur 8,14 juta orang, dan bekerja paruh waktu 28,41 juta orang.
”Total ada 45,84 juta orang atau 34,3 persen dari total angkatan kerja. Menurut saya, sebagian besar dari mereka berharap mendapatkan pekerjaan tetap,” kata Anton. (CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO/KARINA ISNA IRAWAN)