Rencana pembukaan keran ekspor benih lobster dinilai tidak mempertimbangkan kepentingan jangka panjang pelaku usaha pembesaran lobster di Tanah Air.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan revisi 29 peraturan di lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan diharapkan bukan kebijakan instan untuk kepentingan sesaat. Perubahan kebijakan diharapkan tidak menjadi bumerang untuk pembangunan jangka panjang serta daya saing pelaku usaha kelautan dan perikanan di dalam negeri.
Pro dan kontra terus mengalir terkait dengan rencana revisi kebijakan, antara lain terkait dengan substansi yang dinilai belum berpihak pada penguatan pembudidaya dan nelayan kecil.
Staf Advokasi dan Kampanye Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) Indonesia, Mega Dwi Yulyandini, menyoroti Rancangan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Usaha Perikanan Tangkap. Rancangan kebijakan itu dinilai tidak mengatur pengakuan dan perlindungan terhadap nelayan tradisional.
Dalam definisi nelayan kecil juga tidak ditemukan pengakuan negara terhadap wilayah tangkap tradisional dan kearifan lokal masyarakat hukum adat pesisir dalam kegiatan penangkapan ikan.
Padahal, lanjut Mega, pengakuan dan perlindungan nelayan tradisional diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
”Nasib nelayan tradisional dipertaruhkan karena dalam rancangan peraturan itu tidak ditemukan frase dan penjelasan terkait nelayan tradisional,” ujarnya di Jakarta, Rabu (12/2/2020).
Sementara itu, penolakan atas rencana pemerintah membuka ekspor benih lobster secara ketat, terbatas, dan terkendali terus berlangsung. Penolakan ini berlandaskan kekhawatiran budidaya dan pembesaran lobster di Tanah Air akan terhambat.
Dedy Sopian, pembudidaya lobster di Desa Ketapang Raya, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, mengungkapkan, pemerintah seharusnya fokus membangun budidaya lobster Indonesia untuk mengatasi ketertinggalan dari Vietnam. Apalagi, Vietnam, sebagai eksportir lobster dunia, mengandalkan pasokan benih lobster dari Indonesia.
KOMPAS/VINA OKTAVIA
Benih lobster yang diselundupkan melalui wilayah Lampung pada 23 Agustus 2019.Foto: Dokumentasi Stasiun Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan Kelas I Provinsi Lampung.
Ia mendukung rencana pemerintah mengembangkan budidaya lobster. Akan tetapi, apabila keran ekspor benih lobster dibuka, dipastikan usaha budidaya dan pembesaran lobster Indonesia terus tertinggal.
”Pemerintah harus tegas dan berpikir jangka panjang. Jangan membuat kami (pembudidaya lobster) menjadi bahan coba-coba. Kalau ekspor benih lobster dibuka lagi, budidaya lobster bakal hancur,” kata Dedy yang juga anggota Lembaga Pengembangan Sumber Daya Nelayan Lombok Timur.
Selama ini, pembudidaya lobster di Lombok Timur menjalankan usaha dengan menangkap benih sendiri untuk dibesarkan. Cara lain yang juga digunakan adalah membeli benih lobster hasil tangkapan nelayan untuk dibesarkan.
Dampak keran ekspor benih lobster dikhawatirkan mendorong kenaikan harga benih sehingga pembudidaya sulit menyerap benih dari nelayan. Ia becermin dari kebijakan sebelum 2015 ketika ekspor benih lobster marak sehingga banyak usaha budidaya lobster di Lombok Timur gulung tikar.
Tawaran benih
Sementara itu, tawaran dari sejumlah pedagang dalam negeri dan luar negeri untuk membeli benih lobster asal Indonesia mulai muncul. Tawaran itu seiring dengan mencuatnya rencana pembukaan keran ekspor benih lobster. Permintaan dan penawaran benih lobster tidak hanya melalui telepon, tetapi juga melalui akun media sosial dan perdagangan secara elektronik atau e-dagang.
Di salah satu laman e-dagang, benih lobster air laut berukuran 100 gram dijual seharga Rp 95.000 per 5 ekor. Padahal, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp), dan Rajungan (Portunus spp) dari Wilayah Negara RI hanya membolehkan lobster dijual dalam ukuran 200 gram ke atas atau panjang karapas 8 sentimeter.
Menurut Dedy, permintaan benih lobster untuk diekspor marak seiring rencana kebijakan ekspor benih. Ia mengaku dihubungi salah satu pengepul di Bali yang menanyakan ketersediaan benih lobster dan tawaran agar ia beralih profesi menjadi pemasok benih.
Penawaran harga benih lobster juga datang dari pengepul asal Singapura melalui akun media sosial. Harga benih yang ditawarkan untuk tingkat pengepul berkisar 1,74 dollar Singapura hingga 5,88 dollar Singapura per ekor.
”Pengepul sudah bersiap-siap membeli benih. Nelayan tidak boleh jadi penonton di laut sendiri!” kata Dedy.
Harga benih lobster di tingkat nelayan untuk jenis lobster pasir berkisar Rp 6.000-Rp 7.000 per ekor, dan lobster mutiara Rp 20.000-Rp 25.000 per ekor. Harga jual ditentukan pengepul.
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun Ternate Janib Achmad memprediksi, permintaan memasok benih ke luar negeri akan meningkat jika keran ekspor dibuka. Orang akan mencari cara untuk mengeksploitasi benih besar-besaran. Nelayan dengan keterbatasan infrastruktur akan ditinggalkan.
Sementara itu, pembesaran benih lobster menjadi ukuran konsumsi memiliki harga jual jauh lebih tinggi. Pasar dalam negeri juga terbuka. Ia mencontohkan, harga lobster berukuran 1-1,5 kg di dalam negeri Rp 300.000-Rp 500.000. Di Singapura, lobster dengan ukuran sama seharga Rp 700.000-Rp 1.500.000.
”Dengan potensi pasar itu, pemerintah seharusnya fokus dengan kebijakan membangun pusat pembesaran lobster di pulau-pulau kecil yang menjadi sentra produksi dengan melibatkan nelayan-nelayan kecil,” katanya.