Penurunan Produksi Gula Cermin Kesejahteraan Petani Tebu
Oleh karena tidak menguntungkan, tak sedikit petani beralih ke tanaman selain tebu. Pemerintah perlu memberi insentif agar petani tertarik untuk merawat tanaman dan meningkatkan produktivitas lahannya.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam enam tahun terakhir, produksi gula berbasis tebu petani dalam negeri cenderung turun. Kondisi itu dinilai menjadi tanda lemahnya jaminan kesejahteraan petani tebu.
Menurut data Asosiasi Gula Indonesia (AGI), produksi gula untuk konsumsi langsung yang berasal dari perkebunan tebu nasional pada 2014 mencapai 2,57 juta ton, lalu turun menjadi 2,49 juta ton (2015), 2,2 juta ton (2016), dan 2,11 juta ton (2017). Meskipun produksi naik menjadi 2,17 juta ton pada 2018 dan 2,22 juta ton pada 2019, produksi tebu pada tahun ini diproyeksikan turun menjadi 2-2,1 juta ton.
Menurut Ketua Umum Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen, penurunan produksi gula dalam negeri terkait dengan kesejahteraan petani. ”Penghasilan petani tebu tidak memiliki daya tarik sehingga petani tidak memiliki gairah menanam dan merawat tebu,” katanya saat dihubungi, Kamis (13/2/2020).
Jaminan kesejahteraan bagi petani tebu, menurut Soemitro, tampak dari harga pembelian tebu di tingkat petani. Harga pembelian tebu mesti terjamin di atas ongkos produksi.
Berdasarkan data AGI, rata-rata tahunan harga lelang gula petani pada 2019 mencapai Rp 10.196 per kilogram (kg). Angka ini lebih tinggi daripada harga rata-rata tahunan pada 2018 yang sebesar Rp 9.469 per kg.
Soemitro berharap rendemen pabrik gula nasional dapat mencapai 12 persen agar petani berpotensi mendapatkan penghasilan yang lebih baik. AGI mencatat, rendemen pabrik gula pada 2019 sekitar 8,03 persen.
Menurut Peneliti Center for Indonesian Policy Studies Felippa, Ann Amanta, penurunan produksi tersebut turut disebabkan oleh insentif menjadi petani tebu yang dinilai tidak menarik. Insentif itu tidak hanya menyangkut keringanan biaya produksi, tetapi juga harga yang didapatkan oleh petani.
Berdasarkan data yang dia himpun, ada sejumlah pengalihan fungsi lahan dalam periode penurunan produksi tersebut. Petani mengalihkan komoditas yang dia tanam, yakni dari tebu ke komoditas-komoditas pertanian yang dinilai lebih menguntungkan.
Walaupun demikian, AGI memperkirakan luas lahan tebu digiling pada 2020 dapat meningkat menjadi 419.993 hektar. Luas lahan ini lebih tinggi dibandingkan pada 2019 yang mencapai 411.435 hektar.
Insentif tak hanya soal keringanan biaya produksi, tetapi juga harga yang didapatkan oleh petani.
Di sisi pelaku industri, menurut Direktur Eksekutif AGI Budi Hidayat, pemerintah perlu konsisten dalam menyusun dan menerapkan kebijakan pergulaan yang propetani. Konsistensi kebijakan pergulaan ini dapat menjadi solusi untuk meningkatkan produksi gula berbasis tebu dalam negeri.
Kebijakan propetani itu terdiri dari pengoptimalan bantuan bibit, pupuk, dan pendanaan untuk bongkar ratoon agar kualitas tebu petani sebagai bahan baku gula. ”Peningkatan rendemen itu tidak tergantung pabrik, tetapi kualitas tebu sebagai bahan baku,” katanya.
Selain itu, Budi menilai, pemerintah juga perlu memperjelas kebijakan revitalisasi pabrik gula badan usaha milik negara (BUMN) dalam rangka peningkatan produksi gula nasional. Sebagian besar dari 50 pabrik gula yang beroperasi pada 2020 merupakan milik BUMN.