Selasa, 11 Februari 2020, ruang masukan publik terkait revisi 29 peraturan di sektor kelautan dan perikanan ditutup. Tanggal itu bertepatan enam hari setelah pemerintah menggelar forum konsultasi publik ke-1 yang diselenggarakan Komisi Pemangku-Kepentingan dan Konsultasi Publik Kementerian Kelautan dan Perikanan atau KP2-KKP.
Namun, rencana revisi kebijakan itu menuai pro dan kontra. Apalagi, rancangan kebijakan yang bergulir memiliki beragam versi.
Revisi kebijakan yang dipaparkan tim penasihat menteri dalam forum yang dihadiri pelaku usaha dan asosiasi bertolak belakang dengan isi Rancangan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan. Padahal, rancangan yang disusun antara lain eselon I KKP itu juga disebarkan kepada masyarakat.
Pasal 11 naskah Rancangan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Usaha Perikanan Tangkap, misalnya, menyebutkan, usaha perikanan tangkap wajib menggunakan 100 persen modal dalam negeri. Adapun di Pasal 26, pembangunan kapal baru wajib dilakukan di dalam negeri. Sementara, pengadaan kapal bekas hanya dapat dilakukan terhadap kapal buatan dalam negeri.
Sementara, dari paparan kebijakan dalam forum komunikasi publik ke-1, terbuka peluang memberikan hak pengelolaan di sentra kelautan dan perikanan terpadu kepada pengusaha internasional. Caranya, dengan memberikan izin kapal penangkapan ikan. Pemerintah juga berencana mengizinkan pemanfaatan anak buah kapal (ABK) asing di kapal perikanan.
Beberapa revisi kebijakan lain yang juga menuai pro-kontra adalah pencabutan larangan alih muatan kapal (transhipment), pencabutan larangan alat tangkap cantrang dan sejenisnya yang dinilai merusak sumber daya ikan serta dibukanya keran ekspor benih lobster.
Baca juga: Kementerian Kelautan Perikanan Buka Ruang untuk Masukan Publik
Inisiatif yang digulirkan pemerintah untuk membuka ruang masukan publik dinilai masih kurang menyentuh mayoritas pelaku usaha Tanah Air, yakni nelayan tradisional dan pembudidaya skala kecil. Sementara, persoalan mendasar terkait daya saing dan peningkatan kesejahteraan pelaku usaha merupakan pekerjaan rumah yang mendesak untuk dituntaskan.
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dalam sejumlah kesempatan menyampaikan, ia mengemban dua tugas utama, yakni memperbaiki komunikasi dengan seluruh pemangku kepentingan kelautan dan perikanan. Ia juga mendapat tugas mendorong perikanan budidaya sesuai arahan Presiden Joko Widodo.
Faktanya, Indonesia masih didera persoalan mendasar, yakni kasus penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur (IUU Fishing), serta daya saing yang lemah. Kendati kebijakan di era sebelumnya begitu gencar mendorong pemberantasan IUU Fishing, kasus kejahatan perikanan terus berlangsung.
Pekan ini, harian Kompas memberitakan, alih muatan kapal di tengah laut kembali marak berlangsung kendati kebijakan larangan alih muatan belum dicabut. Ikan-ikan yang ditangkap di Laut Arafura tidak didaratkan ke pelabuhan terdekat, seperti diamanatkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 57 Tahun 2014 tentang Usaha Perikanan Tangkap.
Kebijakan kelautan dan perikanan diharapkan mampu menjawab tantangan pembangunan ekonomi perikanan yang berkelanjutan, berkeadilan, dan menyejahterakan. Di samping itu, menutup celah pelanggaran dan peluang pelaku kejahatan perikanan—dalam negeri dan luar negeri—untuk menguras sumber daya ikan di Tanah Air.
Upaya merevisi kebijakan diharapkan tidak sekadar tampil beda dengan kebijakan sebelumnya. Kebijakan yang berpihak terhadap penguatan pelaku usaha perikanan menjadi kunci untuk meningkatkan daya saing. Selain itu, yang tak kalah penting, memastikan pelaku usaha perikanan nasional menjadi tuan rumah di negeri sendiri.