Industri Mobil Listrik di Indonesia Terkendala Infrastruktur dan Regulasi
Mobil listrik merupakan masa depan sektor otomotif. Namun, penjualannya di Indonesia masih kurang diminati karena harga tak terjangkau. Regulasi dan infrastruktur pendukung pun butuh penyempurnaan.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku industri dan akademisi menantikan kepastian pemerintah untuk memfasilitasi pengembangan industri kendaraan listrik. Selain infrastruktur fisik, sejumlah regulasi juga dibutuhkan.
Perkembangan industri kendaraan listrik sebagai industri unggulan otomotif di Indonesia memiliki prospek besar. Pemerintah pun menunjukkan keseriusan dalam mentransformasikan sektor transportasi dari kendaraan berbahan bakar fosil menjadi kendaraan listrik dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan. Namun, kenyataannya masih jauh dari harapan.
Kepala Seksi Sumber Daya Industri dan Sarana Prasarana Industri Direktorat Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan pada Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian Andi Komara mengatakan, hal itu terlihat dari jumlah perusahaan yang mendaftarkan diri untuk mengembangkan industri kendaraan listrik. Sebanyak sembilan perusahaan sudah terdaftar akan memproduksi sepeda motor listrik, sedangkan untuk mobil listrik baru ada satu perusahaan.
”Animo untuk membuat sepeda motor listrik memang lebih besar karena industri itu memunculkan model bisnis baru, yaitu menyewakan sepeda motor, bukan menjual. Sementara itu, tantangan untuk mobil listrik jauh lebih besar,” kata Andi dalam diskusi ”Menyongsong Era Mobil Listrik” di Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Jakarta, Rabu (12/2/2020).
Dalam diskusi tersebut, hadir pula anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Golkar, Singgih Januratmoko; pengajar di Politeknik Elektronika Negeri Surabaya, Dedid Cahya Happyanto; dan CEO PT Bakrie Autoparts Dino Ryandi. Diskusi dimoderatori Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Mohammad Bakir.
Andi melanjutkan, tantangan utama penjualan mobil listrik adalah harga yang jauh lebih mahal ketimbang mobil berbahan bakar fosil yang digunakan pada umumnya. Berdasarkan studi Kementerian Perindustrian, sebagian besar warga membeli mobil dengan harga rata-rata Rp 230 juta. ”Masyarakat bersedia beralih ke mobil yang lebih ramah lingkungan jika perbedaan harganya sekitar 7 persen saja. Lebih dari itu, masyarakat tidak mau,” ujar Andi.
Kenyataannya, harga mobil listrik hampir mencapai Rp 1 miliar. Keluaran paling murah harganya masih lebih dari Rp 500 juta. Kemampuan pemerintah dalam memberikan insentif agar harga bisa menjadi lebih murah pun terbatas.
Fase peralihan
Dedid Cahya Happyanto mengatakan, tingginya harga mobil listrik disebabkan harga baterai yang belum terjangkau. Harga baterai bisa ditekan dengan membangun industri baterai di dalam negeri.
Menurut rencana, industri terkait akan dibangun di Morowali, Sulawesi Tengah. Namun, hingga saat ini industri belum beroperasi.
Namun, hal itu tak mudah. Perlu penelitian lebih jauh dari menciptakan baterai, seperti bagaimana mendaur ulang sampah baterai. Di lingkup global, kemampuan itu juga masih terbatas.
Menurut Dedid, peralihan dari mobil berbahan bakar fosil ke mobil listrik memang tak bisa serta-merta dilakukan. Ia membaginya ke dalam tiga tahap.
”Fase pertama, kita perlu mengubah mobil-mobil eksisting menjadi berteknologi hybrid antara bahan bakar dan listrik. Fase kedua, ketika mobil hybrid sudah beredar di pasaran. Fase ketiga, ketika mobil listrik sudah sepenuhnya digunakan. Saat sudah sepenuhnya digunakan, stasiun pengisian bahan bakar juga harus banyak dibangun,” tuturnya.
Secara terpisah, Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara mengakui, tantangan untuk membuat harga mobil listrik lebih terjangkau bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di seluruh dunia. Harga mobil listrik saat ini lebih mahal 87-90 persen ketimbang mobil berbahan bakar fosil.
Tantangan untuk membuat harga mobil listrik lebih terjangkau bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di dunia. Harga mobil listrik saat ini lebih mahal 87-90 persen ketimbang mobil berbahan bakar fosil.
Kukuh menambahkan, penjualan paling sukses baru terjadi di China. Kesuksesan itu pun salah satunya karena subsidi pemerintah mencapai 50 persen dari harga mobil. ”Namun, ketika subsidi pemerintah dikurangi, penjualannya juga turun,” ujarnya.
Regulasi
Dino Ryandi menuturkan, perusahaannya memulai usaha kendaraan listrik dengan perakitan bus listrik yang seluruh komponennya diimpor dari China. Adapun sejumlah bus listrik dari Bakrie Autoparts saat ini sudah beroperasi sebagai bagian dari Transjakarta.
Menurut dia, perakitan dan operasionalisasi itu juga masih membutuhkan kelengkapan aturan. Perpres No 55/2019 yang sudah ada saja belum cukup. Pemerintah perlu segera menerbitkan petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis terkait regulasi tersebut. Di antaranya terkait dengan yurisdiksi dan aturan impor.
”Suatu saat kami ingin tidak semua komponen diimpor, tetapi menggunakan buatan dalam negeri. Namun, hal semacam itu belum memiliki aturan,” kata Dino.
Aturan lain yang menyangkut kelengkapan administrasi juga diperlukan. Belum ada ketentuan yang mengatur definisi dan kategori bus listrik. Akibatnya, bus listrik belum bisa memiliki nomor pelat kendaraan.
Dino menyebutkan, regulasi yang jelas dan tegas itu perlu dipercepat sebab prospek pengembangan mobil listrik terbuka lebar. Misalnya saja, Bakrie Autoparts sudah memiliki sembilan rekanan yang siap membeli bus listrik, di antaranya Transjakarta, Pemerintah Kota Surabaya, Jawa Timur, dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat.