Ekspor nonmigas ke negara-negara akreditasi perlu dimaksimalkan sebagai strategi perbaikan kinerja perdagangan. Kontribusi negara-negara akreditasi terhadap kinerja nonmigas baru 87,3 persen dari total ekspor.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Diversifikasi pasar ekspor menjadi kebutuhan mendesak di tengah tantangan perdagangan global. Ekspor nonmigas ke negara-negara akreditasi perlu dimaksimalkan sebagai strategi perbaikan kinerja perdagangan di tengah tantangan harga komoditas.
Negara akreditasi merupakan negara mitra dengan atase perdagangan dan Pusat Promosi Perdagangan Indonesia (ITPC).
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai, Indonesia perlu memperkuat ekspor ke negara-negara di luar pasar utama, di antaranya ke Timur Tengah. Hal ini diperlukan mengingat perdagangan global tengah menghadapi berbagai tantangan, utamanya penyebaran virus korona baru.
”Diversifikasi ekspor ke luar pasar utama menjadi mendesak. Contohnya adalah ke Timur Tengah, secara hambatan nontarif mereka tidak seperti Uni Eropa, terutama dalam isu lingkungan,” ujar Faisal di Jakarta, Selasa (12/2/2020).
Diversifikasi ekspor ke luar pasar utama menjadi mendesak. Contohnya adalah ke Timur Tengah, secara hambatan nontarif mereka tidak seperti Uni Eropa, terutama dalam isu lingkungan.
Negara-negara Timur Tengah yang masuk daftar negara akreditasi sendiri mencakup Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Mesir. Dari ketiga negara ini, Kementerian Perdagangan memperkirakan hanya target ekspor nonmigas ke Arab Saudi yang memenuhi target.
Sampai Agustus 2019, nilai ekspor ke negara tersebut telah mencapai 1,25 miliar dollar AS atau 77,3 persen dari target. Tahun lalu, pemerintah juga menargetkan kontribusi dari negara-negara akreditasi terhadap total ekspor nonmigas sebesar 90,1 persen.
Namun, kinerja ekspor nonmigas ke negara-negara akreditasi tersebut masih belum optimal. Sampai Agustus 2019, Kementerian Perdagangan mencatat, kontribusi negara-negara akreditasi terhadap kinerja nonmigas baru mencapai 87,3 persen dari total ekspor nonmigas periode tersebut.
[caption id="attachment_11080623" align="alignnone" width="720"] Kinerja neraca perdagangan Indonesia dengan sejumlah negara sepanjang 2019 berdasarkan pengolahan data Bahana Sekuritas[/caption]
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia sepanjang 2019 kembali defisit sebesar 3,2 miliar dollar AS, di mana nilai ekspor mencapai 167,5 miliar dollar AS dan impor 170,7 miliar dollar AS.
Faisal memperkirakan tren defisit perdagangan dapat kembali berlanjut pada 2020 meski selisihnya diperkirakan lebih kecil. Sayangnya, mengecilnya selisih defisit perdagangan bukan dipacu ekspor yang menguat, melainkan disebabkan impor yang melemah.
”Defisit lebih kecil ini lebih karena pelemahan bahan baku impor dan bahan baku penolong karena sejalan dengan konsumsi yang melemah dan penurunan kinerja manufaktur,” katanya.
Mengecilnya selisih defisit perdagangan bukan dipacu ekspor yang menguat, melainkan disebabkan impor yang melemah.
Terkait penguatan daya saing ekspor, Faisal menyatakan, pemerintah bisa mengadopsi kebijakan yang menyeluruh dan mencakup insentif fiskal, moneter, dan sektor yang terintegrasi. Dia mencontohkan, kinerja ekspor perikanan Vietnam dapat berkembang pesat karena didukung insentif pembangunan kapal penangkap ikan yang diakomodasi pemerintah.
”Sekalipun Indonesia menerapkan penenggelaman kapal nelayan Vietnam, hal tersebut tak terlalu menjadi desinsentif lantaran nelayan menerima bantuan dalam pembangunan kapal. Hal ini juga yang memacu daya saing produk ikan mereka,” katanya.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kasan Muhri menyatakan, Indonesia tetap bisa memanfaatkan pasar Asia Tenggara dan Asia Selatan sebagai alternatif. Pasar tersebut penting di tengah terbatasnya ruang untuk memacu ekspor ke mitra dagang utama Indonesia, salah satunya China.
”China merupakan pasar ekspor terbesar ataupun sumber impor, tetapi jangan lupa juga negara-negara di kawasan ASEAN, terutama Vietnam dan Myanmar, juga besar. Itu pasar potensial, begitu pula Asia Selatan,” katanya.
Target ekspor nonmigas ke Vietnam sendiri diperkirakan tercapai dengan realisasi sampai Agustus 2019 sebesar 3,13 miliar dollar AS atau tumbuh 14,5 persen secara tahunan. Sementara itu, Indonesia tercatat belum menempatkan atase perdagangan di Myanmar.
Kasan optimistis Indonesia bisa menjajal pasar impor lain demi mensubtitusi pasokan bahan baku manufaktur dan industri yang terganggu pasokannya lantaran kegiatan produksi di negara tersebut terimbas efek wabah virus korona baru.
Sejumlah negara Amerika Latin bisa memasok kebutuhan tersebut. ”Produk bahan baku atau bahan penolong ada dari China. Penggantinya bisa dari ASEAN dan beberapa negara Amerika Latin,” ujar Kasan.