Kala Kaum Milenial Kapok Berinvestasi di Pasar Modal
Jika tidak cermat dan berhati-hati dalam membeli produk investasi, risiko kerugian di masa mendatang menjadi sebuah keniscayaan.
Investasi reksa dana menjadi salah satu yang diminati kalangan milenial. Ada yang beranggapan karena pergerakan reksa dana tidak perlu dilihat setiap jam, ada pula yang beranggapan lebih mudah karena portofolio telah dikelola manajer investasi.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), ada 1.198.699 investor individu reksa dana. Dari jumlah yang dihitung per Maret 2019 itu, sekitar 35,8 persen di antaranya berusia 21-30 tahun dan 27 persen berusia 31-40 tahun (Kompas, 15 Mei 2019).
Namun, jika tidak cermat dan berhati-hati dalam membeli produk investasi, risiko kerugian pada masa mendatang menjadi sebuah keniscayaan. Iming-iming bunga besar pun menjadi poin penting yang harus diwaspadai dan diperhatikan ketika berinvestasi.
Pasalnya, belakangan ada sejumlah pengelola reksa dana yang tidak mematuhi aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Mereka menjanjikan imbal hasil yang tinggi, padahal portofolio yang digunakan adalah saham yang pergerakannya sangat fluktuatif. OJK akhirnya menutup beberapa reksa dana yang berpraktik macam ini untuk menjaga kredibilitas industri reksa dana nasional. Dampaknya, dana nasabah pun tergerus karena nilai asetnya turun saat dijual.
Pada November 2019, misalnya, OJK membubarkan enam produk yang diterbitkan PT Minna Padi Aset Manajemen. Manajer investasi ini dinilai menjual produk reksa dana berbasis saham dengan menjanjikan hasil investasi pasti (fixed rate). Suspensi ini kemudian berlanjut pada perintah pembubaran enam produk reksa dana yang dikelola Minna Padi.
Adapun enam produk reksa dana Minna Padi Aset Manajemen yang diperintahkan untuk dibubarkan OJK adalah Minna Padi Pringgondani Saham, Minna Padi Pasopati Saham, Syariah Minna Padi Amanah Saham Syariah, Minna Padi Hastinapura Saham, Minna Padi Property Plus, dan Minna Padi Keraton II.
Selain Minna Padi Aset Manajemen, OJK juga mengenakan suspensi penjualan produk reksa dana keluaran PT Narada Aset Manajemen. Narada Aset Manajemen mendapatkan sanksi setelah mengalami gagal bayar dalam transaksi pembelian saham senilai Rp 177,78 miliar.
Kapok
Maria (25), karyawan swasta di Jakarta, mengaku menjadi lebih berhati-hati dalam melakukan investasi di reksa dana saham. Sebab, ia merugi akibat berinvestasi di PT Minna Padi Aset Manajemen yang ditutup OJK itu.
Maria berinvestasi di reksa dana saham Minna Padi Aset Manajemen sekitar enam bulan sejak April 2019. Ia menyisihkan 14 persen dari gaji setiap bulan untuk investasi ini, tetapi pada Desember 2019 merugi hingga 25 persen dari total dana yang telah diinvestasikannya.
”Setelah kejadian ini, Saya agak kapok berinvestasi. Kalaupun ingin berinvestasi kembali, saya harus lebih hati-hati,” ucapnya, di Jakarta, Selasa (11/2/2020).
Lebih dari itu, kata Maria, dalam berinvestasi, penting untuk mengecek siapa manajer investasinya. Langkah ini untuk mengetahui latar belakang dan rekam jejak dari pengelola reksa dana.
Adapun David (27), karyawan swasta di Jakarta, juga mengaku kapok berinvestasi di reksa dana saham. Ia juga merupakan salah satu korban reksa dana Minna Padi Aset Manajemen. Ia berinvestasi reksa dana dengan berbagai macam produk, tetapi paling banyak berinvestasi di reksa dana saham. Ia mengalokasikan dana sekitar 20 persen dari gajinya per bulan untuk diinvestasikan pada reksa dana.
”Kali ini saya merugi 5 persen dari Rp 3 juta, sebelumnya juga sempat merugi sekitar 10 persen dari Rp 8 juta. Dari pengalaman-pengalaman ini, sekarang lagi kapok (berinvestasi), jadi sekarang kalau punya duit disimpan di bank saja,” katanya.
Baca juga: Kaum Milenial Dominasi Investor Ritel
Dari pengalaman ini, menurut David, dalam berinvestasi jangan terbuai dengan janji imbal hasil yang besar. Saat investasi di Minna Padi Aset Manajemen, ia dijanjikan keuntungan bunga sekitar 10 persen setiap tahun.
”Ternyata itu saham gorengan dan terlalu spekulatif. Sekalinya anjlok, susah naik lagi harga sahamnya. Terus saya jadi belajar, lebih baik simpan duit di bank saja, bunga tidak seberapa, tapi aman,” kata David.
Jangan mudah tergiur
Presiden Direktur Mandiri Manajemen Investasi Alvin Pattisahusiwa menyampaikan, kerugian yang dialami para investor ini menjadi pelajaran agar ke depan masyarakat lebih waspada dan berhati-hati dalam memilih produk investasi. Masyarakat, apalagi kalangan milenial, harus cermat dalam menganalisis produk investasi sebelum membelinya.
Menurut dia, calon investor harus sadar bahwa tidak ada fixed return dalam reksa dana saham karena saham bergerak secara fluktuatif. ”Tidak bisa kita mendapatkan hasil investasi yang tetap atau pasti kalau yang mendasarinya itu volatil. Jelas ini sudah enggak match antara yang menjadi dasar dan hasil yang ’dijanjikan’,” kata Alvin.
Baca juga: Momentum Reformasi Industri Asuransi
Selain itu, iming-iming bunga besar karena performa yang baik di masa lalu juga tidak bisa menjadi tolak ukur untuk berinvestasi. Sebab, kinerja di masa lalu tidak dapat mencerminkan kinerja di masa depan.
Dengan demikian, kata Alvin, calon investor harus tahu aset apa yang mendasari produk investasi. Penting juga mengetahui strategi manajer investasi sebagai pengelola reksa dana dalam menghasilkan return.
Berdasarkan data OJK, dana kelolaan atau nilai aktiva bersih (NAB) reksa dana terus menurun sejak Oktober 2019 hingga kini. Salah satunya karena banyak nasabah yang menarik dananya dari reksa dana akibat khawatir merugi.
Kapoknya Maria dan David untuk berinvestasi di reksa dana bisa jadi mewakili pandangan banyak kaum milenial lainnya. Ini tentu disayangkan mengingat sejak 2017, minat kaum milenial berinvestasi di pasar modal sebenarnya meningkat pesat. Jumlah kaum milenial yang besar di negeri ini sebenarnya bisa menjadi potensi untuk mendorong industri pasar modal.
Sejumlah kasus gagal bayar klaim nasabah produk saving plan di PT Asuransi Jiwa Jiwasraya dan Bumiputera makin menekan minat masyarakat berinvestasi.
Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap industri pasar modal tentu tidak mudah. Namun, dengan pengawasan yang lebih ketat dan penegakan hukum yang tegas dari otoritas dan penegak hukum, kepercayaan masyarakat niscaya akan pulih kembali.