Seiring perkembangan energi bersih di dunia, Pemerintah RI juga berupaya mengurangi peran energi fosil. Batubara mulai ditinggalkan sejumlah negara.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berkomitmen melanjutkan gasifikasi batubara kendati sejumlah pihak menyatakan tidak ekonomis. Salah satu penyebabnya ialah investasi proyek gasifikasi yang mahal.
Seperti halnya teknologi energi terbarukan yang semakin murah, demikian halnya untuk gasifikasi.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Agung Pribadi mengatakan, beberapa tahun lalu, harga jual listrik dari energi terbarukan dari tenaga surya lebih dari 10 sen dollar AS per kilowatt jam (kWh).
Seiring perkembangan teknologi yang pesat, harga jualnya kini jauh lebih murah. Beberapa investor menawarkan harga jual 4-5 sen dollar AS per kWh.
”Itulah kenapa gasifikasi batubara tetap akan dikembangkan. Kami percaya, teknologi di masa mendatang kian efisien sehingga harga jual produk gasifikasi batubara bakal ekonomis,” kata Agung, akhir pekan lalu, di Jakarta.
Untuk merealisasikan gasifikasi batubara di dalam negeri, pemerintah berencana menetapkan harga khusus batubara bagi investor gasifikasi. Dari kajian sementara, harga khusus itu dipatok sekitar 20 dollar AS per ton untuk batubara berkalori rendah. Pemerintah juga membuka opsi pengurangan royalti batubara untuk gasifikasi.
Energi terbarukan
Menurut Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa, isu tentang pengembangan energi terbarukan sedang bergerak di berbagai belahan dunia. Isu perubahan iklim melatarbelakangi gerakan tersebut. Begitu pula upaya untuk mendapatkan lingkungan yang lebih bersih dan bebas polusi dari pembakaran energi fosil.
”Sudah banyak negara yang meninggalkan batubara sebagai sumber energi primer pembangkit listrik. Mereka beralih ke energi bersih dan ramah lingkungan, seperti tenaga surya, bayu, atau hidro. Teknologi yang kian efisien juga menghasilkan listrik energi terbarukan yang murah,” tutur Fabby.
Dalam wawancara khusus dengan Duta Besar Finlandia untuk Indonesia Jari Sinkari, beberapa waktu lalu, di Jakarta, Finlandia tak akan lagi memakai batubara mulai 2030. Saat ini, energi terbarukan berperan 40 persen dalam bauran energi di Finlandia. Adapun peran batubara hanya 9 persen dan bahan bakar minyak 0,3 persen.
Di Indonesia, proyek gasifikasi batubara akan dimotori PT Bukit Asam Tbk, salah satu perusahaan tambang batubara milik negara. Perusahaan ini menginvestasikan Rp 4,5 triliun untuk proyek gasifikasi. Bukit Asam menggandeng sejumlah perusahaan, yaitu PT Pertamina (Persero), PT Chandra Asri Petrochemical Tbk, dan Air Products asal Amerika Serikat sebagai pemilik teknologi gasifikasi batubara.
”Produk gasifikasi direncanakan untuk menghasilkan dimetil eter dan metanol. Rencana lokasi proyek gasifikasi berada di Tanjung Enim, Sumatera Selatan,” katanya Direktur Utama Bukit Asam Arviyan Arifin, beberapa waktu lalu, di Jakarta.
Menurut Arviyan, produk yang dihasilkan dari proyek gasifikasi akan dibeli Pertamina. Dimetil eter merupakan bahan baku elpiji. Metanol menjadi bahan tambahan untuk biosolar, bahan bakar minyak hasil pencampuran biodiesel dan solar.
”Dari perhitungan kami, harga metanol dari hasil gasifikasi batubara lebih murah ketimbang metanol dari gas alam. Jadi, secara bisnis, gasifikasi batubara ini mempunyai prospek yang menarik,” ujar Arviyan.
Indonesia memiliki 40 miliar ton cadangan batubara. Produksi batubara 2019 sebanyak 610 juta ton dan pada tahun ini ditargetkan 550 juta ton. Dari target produksi pada tahun ini, sebanyak 155 juta ton untuk pemakaian di dalam negeri dan sisanya diekspor. (APO)