Pemasaran multimedia atau multiplatform kian diperlukan untuk menarik konsumen. Media sosial juga kian banyak digunakan untuk mengakuisisi konsumen.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
KOMPAS/MEDIANA
Marketing Science Lead untuk Facebook di Indonesia Adisti Latief.
JAKARTA, KOMPAS — Pendekatan pemasaran produk tidak bisa mengandalkan satu bentuk media. Pendekatan pemasaran melalui multiplatform diperlukan agar akuisisi dan penjualan tetap tumbuh.
Alasannya, konsumen tak hanya mengonsumsi informasi dari satu media atau platform. Hal ini, antara lain, disebabkan maraknya media dalam jaringan dan luar jaringan.
”Pemilik merek akan beriklan mengikuti perubahan perilaku konsumen. Ketika perjalanan perilaku konsumen makin kompleks karena mengonsumsi lebih dari satu media atau platform, maka pengukuran efektivitas iklan juga semakin rumit,” ujar Marketing Science Lead untuk Facebook di Indonesia Adisti Latief, Jumat (7/2/2020), di Jakarta.
Expert Solution Director Kantar Indonesia Johan Pangaribuan mengatakan, berdasarkan hasil riset terhadap 11.000 rumah tangga konsumen produk yang terjual cepat (fast moving consumer goods/FMCG), 21 persen responden ingin membeli barang hanya karena menonton iklan di televisi. Sementara, 29 persen responden ingin membeli barang hanya karena melihat iklan di Facebook.
Adapun porsi responden yang ingin membeli barang lantaran melihat iklannya di televisi dan Facebook sekitar 56 persen.
”Dari contoh itu, kami bisa menyimpulkan, pemasaran produk sudah semestinya menyinergikan multimedia atau platform. Sinergi seperti ini mendorong tambahan penjualan,” ujarnya.
Adisti menyebutkan, setiap hari ada lebih dari 2 miliar orang di dunia yang mengakses layanan aplikasi milik grup Facebook.
Johan mengemukakan, hasil riset menunjukkan platform media sosial mempermudah akuisisi konsumen baru dari pemilik merek yang masih memiliki penetrasi pasar di bawah 10 persen.
Hasil penjualan dari konsumen baru yang melihat iklan di Facebook sekitar 23 persen. Adapun bagi pemilik merek dengan penetrasi pasar di atas 10 persen, Facebook membantu 53 persen konsumen lama untuk tetap membeli barang itu.
Kompas/Priyombodo
Iklan perumahan murah di salah satu stan peserta Indonesia International Property Expo 2019 di Jakarta Convention Center, Jakarta Pusat, Sabtu (21/9/2019).
Johan menyebutkan, berdasarkan temuan riset Kantar terhadap lebih dari 100 merek barang FMCG selama 2016-2017, hanya 73 persen di antaranya tetap tumbuh. Kemudian, pada 2018-2019, tinggal 42 persen di antaranya yang tetap tumbuh. Dikatakan tumbuh adalah tetap bisa mengakuisisi konsumen baru dan menjaga loyalitas pengguna lama.
”Di industri terjadi pergeseran pemasangan iklan dari media tradisional ke digital mengikuti perilaku konsumen. Pada saat bersamaan, masih banyak perusahaan mencoba pendekatan multimedia atau platform, tetapi kesulitan menemukan metode pengukuran yang akurat untuk mengetahui efektivitas beriklan dengan pendekatan itu,” tuturnya.
Mengutip blog Think With Google di artikel Hear From 11 Experts How Brands Can Succeed With Digital in 2020 (Januari 2020), Head of Digital and Data Samsung Australia Mick Armstrong mengatakan, bagi organisasi besar seperti Samsung, transformasi digital diibaratkan sebagai lompatan keyakinan. Organisasi sedang berinvestasi di teknologi periklanan digital kendati belum memperkirakan tingkat pengembalian investasi.
Chief Marketing Officer L’Oreal Hongkong Larry Luk menyampaikan hal senada. Lompatan keyakinan menggunakan teknologi digital bisa jadi sangat menakutkan, terutama dengan anggaran yang ketat. Namun, menurut dia, tidak ada salahnya berani mencoba aneka metode atau pendekatan pemasaran baru. (MED)