Pemerintah mengoreksi luas baku sawah dari 7,1 juta hektar (2018) menjadi 7,463 juta hektar (2019). Namun, perbaikan data lahan dan metode penghitungan sejatinya baru menyentuh sebagian kecil problem pertanian.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·3 menit baca
Pemerintah baru saja mengumumkan data terkini luas baku sawah. Lewat Surat Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 686/SK-PG.03.03/XII/2019 tanggal 17 Desember 2019, luas baku sawah nasional tahun 2019 ditetapkan 7,463 juta hektar, lebih tinggi dibandingkan data yang diumumkan pada 22 Oktober 2018 yang 7,1 juta hektar.
Dalam konferensi pers yang dihadiri oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto, serta Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan di Jakarta, Selasa (4/2/2020), pemerintah mengoreksi data tahun 2018.
Luas baku sawah dalam data terbaru bertambah karena teknologi citra satelit diklaim mampu menangkap lebih detail kondisi lahan yang sebelumnya tak tertangkap. Selain itu, jumlah wilayah yang diverifikasi bertambah, yakni dari 16 provinsi tahun 2018 menjadi 34 provinsi tahun 2019 (Kompas, 5/2/2020).
Selain BPS dan sejumlah kementerian itu, penghitungan data luas baku sawah melibatkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional, dan Badan Informasi Geospasial. Perkembangan ini patut diapresiasi mengingat selama ini publik kerap dibikin bingung oleh polemik data pangan.
Selama bertahun-tahun, data produksi pangan, khususnya beras, diragukan akurasinya. Selain data luas baku sawah yang mendesak diperbarui, penghitungan produksi dengan metode pengamatan (eye estimate) dianggap telah berulang ”menjerumuskan” pemerintah ke dalam keputusan yang kurang pas, seperti soal perlu tidaknya impor, berapa banyak, atau kapan waktu yang tepat.
Data yang salah juga memberi sinyal yang keliru ke pelaku pasar. Proyeksi jadi meleset. Angka surplus pun produksi sering ”dibungkam” oleh hukum besi penawaran dan permintaan.
Metode penghitungan produksi yang baru, yakni kerangka sampling area, telah dirintis sejak tahun 2015. Selain memanfaatkan citra satelit, metode ini mensyaratkan pengamatan dan pemotretan di lapangan oleh petugas, tepat di titik koordinat yang terpilih sebagai sampel. Dengan cara ini, informasi jenis, usia, dan kondisi tanaman bisa dideteksi secara lebih presisi.
Setelah mengecek ulang luas lahan dan memperbaiki metode penghitungan, data produksi pangan diharapkan lebih akurat, tak hanya produksi padi. Para pelaku dan pihak terkait di sektor pertanian, peternakan, dan perkebunan berharap mendapat data pangan yang lebih akurat.
Akan tetapi, perbaikan data lahan dan metode penghitungan sejatinya baru menyentuh sebagian kecil problem pertanian. Soal lahan, misalnya, permasalahan terbesar justru soal bagaimana mempertahankan dan menambah luasan. Problem yang dihadapi pelaku utamanya, yakni petani, tak kalah rumit terkait kepemilikan lahan dan kesejahteraan.
Indonesia memang punya Undang-Undang 41 Tahun 2009 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Namun, belum semua daerah menetapkan lahan yang dilindungi, juga merealisasikan amanat undang-undang. Alih fungsi masih terjadi bahkan terhadap lahan produktif.Tekanan terhadap lahan pertanian bakal makin berat seiring perkembangan kota, industri, dan pertumbuhan penduduk. Terutama di Pulau Jawa yang diberkahi tanah subur. Ironisnya, selain jadi tempat mukim mayoritas penduduk, Jawa jadi tumpuan produksi sejumlah bahan pangan utama, seperti beras, jagung, gula, daging dan telur ayam, serta daging dan susu sapi.