Daya Dukung Konsumsi terhadap Perekonomian Kian Melemah
Daya dukung konsumsi rumah tangga terhadap perekonomian semakin melemah. Daya beli pada kelompok ekonomi bawah dan menengah atas juga semakin menurun. Perlambatan konsumsi diperkirakan berlanjut pada 2020.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Daya dukung konsumsi rumah tangga terhadap perekonomian semakin melemah. Perlambatan pertumbuhan konsumsi tecermin di hampir semua subsektor, ditambah adanya penurunan daya beli pada kelompok ekonomi bawah dan menengah atas.
Konsumsi rumah tangga berkontribusi paling besar dalam struktur pertumbuhan ekonomi, berkisar 53 persen-54 persen. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan IV-2019 sebesar 4,97 persen, atau terendah sejak 2016 secara triwulanan.
Adapun pertumbuhan konsumsi secara tahunan melambat dari 5,05 persen pada 2018 menjadi 5,04 persen pada 2019. Perlambatan tecermin di hampir semua subsektor, antara lain makanan dan minuman; pakaian, alas kaki dan jasa perawatannya; serta transportasi dan komunikasi.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam berpendapat, perlambatan konsumsi terjadi di kelompok ekonomi bawah dan kelompok menengah atas. Kondisi ini sejalan dengan penurunan penjualan rumah mewah dan penjualan mobil mewah.
Perlambatan konsumsi di kelompok ekonomi bawah dipengaruhi penurunan daya beli akibat menurunnya harga komoditas. Di Indonesia, mata pencarian masyarakat kelas ekonomi bawah banyak bergantung pada produk-produk komoditas, seperti petani kelapa sawit, karet, kakao, dan kopi.
”Turunnya harga komoditas langsung menghantam pendapatan penduduk kelas ekonomi bawah,” kata Piter yang dihubungi Kamis (6/2/2020) di Jakarta.
Daya beli masyarakat kelompok ekonomi bawah berpotensi semakin tergerus akibat kenaikan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan kenaikan cukai rokok. Hal itu karena kontribusi subsektor kesehatan serta makanan dan minuman terhadap konsumsi kelompok ekonomi bawah cukup besar.
Menurut Piter, perlambatan konsumsi di kelompok penduduk menengah atas bukan karena daya beli. Tren perlambatan konsumsi mulai terjadi sejak tahun 2016 pasca-pemerintah memulai kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Kekhawatiran kelompok menengah atas terkait perpajakan ini menyebabkan mereka menahan konsumsi.
”Selama harga komoditas masih rendah, permasalahan perpajakan belum tuntas yang masih memunculkan kekhawatiran kelompok menengah atas, pertumbuhan konsumsi akan masih melambat,” ujar Piter.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, perekonomian Indonesia tumbuh 5,02 persen pada 2019. Dari sisi pengeluaran, hampir semua penopang struktur ekonomi melambat cukup dalam. Laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga melambat dari 5,05 persen pada 2018 menjadi 5,04 persen pada 2019.
Pertumbuhan konsumsi pemerintah melambat dari 4,8 persen menjadi 3,25 persen. Pertumbuhan investasi melambat dari 6,64 persen pada 2018 menjadi 4,45 persen pada 2019. Adapun pertumbuhan ekspor dan impor masing-masing minus 0,87 persen dan 7,69 persen.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, perlambatan konsumsi rumah tangga bisa disebabkan perubahan pola konsumsi. Misalnya, kelompok kelas menengah atas tidak rutin berbelanja pakaian baru karena pakaian bukan prioritas utama. Kondisi itu bisa dipengaruhi jasa sewa pakaian daring yang sedang marak.
Selain rumah tangga, pertumbuhan konsumsi pemerintah juga melambat cukup dalam. Konsumsi pemerintah melambat dari 4,8 persen tahun 2018 menjadi 3,25 persen tahun 2019. Hal itu disebabkan penurunan realisasi belanja barang operasional dan nonoperasional serta belanja jasa.
Konsumsi 2020
Piter menambahkan, perlambatan konsumsi rumah tangga diperkirakan berlanjut pada paruh pertama tahun 2020. Pertumbuhan konsumsi pada triwulan I-2020 akan tetap di bawah 5 persen melanjutkan tren perlemahan triwulan IV-2019. Namun, secara tahunan konsumsi rumah tangga dapat di atas 5 persen.
Secara terpisah, Kepala Kajian Makro Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia Febrio Kacaribu berpendapat, pertumbuhan konsumsi akan meningkat secara bertahap pada 2020 apabila laju inflasi dapat dikendalikan. Tujuannya menjaga kepercayaan konsumen di risiko harga komoditas.
”Ke depan, harga komoditas yang lebih rendah serta ketidakpastian eksternal dan domestik turut berkontribusi terhadap melemahnya investasi dan konsumsi,” ujar Febrio.
Karena itu, pengendalian inflasi pada awal tahun 2020 mesti didukung kebijakan moneter yang hati-hati. Hal itu karena ada beberapa risiko global yang berpotensi meningkatkan laju inflasi, terutama kenaikan harga minyak dunia akibat eskalasi konflik AS-Iran. Kenaikan harga minyak dunia akan berefek domino ke biaya logistik dan transportasi domestik.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Iskandar Simorangkir menambahkan, dalam jangka pendek, pemerintah fokus menjaga daya beli kelompok 40 persen penduduk miskin dan rentan miskin. Selain penyaluran belanja sosial, daya beli berupaya ditingkatkan melalui pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Tarif pajak dan suku bunga kredit usaha rakyat juga diturunkan.