Lonjakan harga cabai memberi andil besar pada inflasi Januari 2020. Ketimbang sibuk mengatur di hilir, pemerintah perlu fokus membenahi produksi di hulu agar ketimpangan antarwaktu dan antarwilayah teratasi.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·3 menit baca
Dari sederet kelompok pengeluaran, kelompok makanan minuman dan tembakau menjadi penyumbang terbesar inflasi Januari 2020 yang tercatat 0,39 persen. Kelompok makanan, minuman, dan tembakau memberi andil 0,41 persen terhadap inflasi bulan lalu. Badan Pusat Statistik mencatat, komoditas cabai jadi penyumbang terbesar inflasi kelompok pengeluaran ini, yakni 0,13 persen untuk cabai merah dan 0,05 persen untuk cabai rawit.
Sepekan terakhir, harga cabai masih sangat ”pedas”, tampak dari trennya yang masih di puncak. Di pasar-pasar tradisional di Jakarta, menurut data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis DKI Jakarta, rata-rata harga cabai rawit merah berkisar Rp 91.143-Rp 93.809 per kilogram, dua kali lipat lebih besar dibandingkan dengan situasi awal Desember 2019 yang masih sekitar Rp 42.000 per kg.
Sementara harga cabai merah besar naik dari Rp 39.800 per kg menjadi Rp 87.000 per kg dua bulan terakhir. Selain kemarau panjang tahun lalu, banjir di sejumlah daerah awal tahun ini dituding menjadi penyebab mundurnya jadwal tanam dan panen. Akibatnya, pasokan cabai ke pasar terganggu.
Akan tetapi, terlepas dari faktor itu, kita belum pernah benar-benar berhasil mengatasi problem fluktuasi pasokan dan harga komoditas hortikultura. Seperti cabai yang setahun terakhir harganya melambung tinggi dan menggapai puncak pada pertengahan Agustus 2019 dan akhir Januari 2020.
Kenyataan itu membuktikan bahwa pengaturan jadwal tanam belum terbukti hasilnya. Produksi komoditas ini juga masih terbelenggu oleh problem ketimpangan antarwaktu dan antarwilayah. Tahun lalu, misalnya, produksi cabai merah oleh Kementerian Pertanian diproyeksikan mencapai 1,12 juta ton.
Angka itu semestinya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan kebutuhan industri yang diperkirakan 1,006 juta ton. Produksi cabai rawit yang diproyeksikan 986.907 ton juga semestinya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan industri yang totalnya 882.172 ton.
Akan tetapi, selain antarbulan, produksi antarwilayah pun timpang. Selama kurun 2011-2015, misalnya, sebesar 59,33 persen produksi cabai rawit hanya berasal dari tiga provinsi, yakni Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Sementara sebesar 55,57 persen produksi cabai merah selama kurun waktu itu berasal dari Jawa Barat, Sumatera Utara, dan Jawa Tengah.
Kenyataan lain yang mestinya jadi pertimbangan adalah situasi harga tak pernah patuh pada aturan tentang harga acuan. Oleh karena itu, ketimbang sibuk mengatur di hilir, pemerintah perlu fokus membenahi produksi di hulu agar ketimpangan antarwaktu dan antarwilayah teratasi.
Selain itu, ada tantangan lain yang perlu dipecahkan bersama, yakni pengangkutan, pengolahan, penyimpanan, dan konsumsi. Dengan karakteristik komoditas yang mudah rusak atau busuk, faktor distribusi amat menentukan kualitas produk di tangan konsumen. Teknologi penyimpanan amat dibutuhkan untuk memperpanjang ”usia” edar cabai dan komoditas hortikultura lain.
Tantangan lain yang berulang disampaikan oleh sejumlah kalangan adalah mengubah pola konsumsi masyarakat dari produk segar ke produk olahan yang lebih awet simpan. Dengan demikian, cabai tak lagi mengusik karena melambungkan inflasi.