Selain kerja sama dagang, produk alas kaki Indonesia dinilai kalah bersaing di dua pasar utama, yakni AS dan UE, antara lain karena industri yang kurang kompetitif. Asosiasi memprediksi ekspor turun.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Asosiasi Persepatuan Indonesia memperkirakan ekspor produk alas kaki Indonesia tahun lalu turun. Selain perjanjian dagang, produk nasional dinilai kalah bersaing karena faktor industri yang kurang kompetitif, antara lain karena ongkos tenaga kerja yang dinilai tinggi.
”Kami berharap tahun 2020 bisa seperti tahun 2018, yakni ekspor bisa di angka 5,1 miliar dollar AS,”kata Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri saat dihubungi melalui telepon di Jakarta, Selasa (4/2/2020).
Aprisindo masih menunggu data kinerja ekspor Desember 2019 dari Badan Pusat Statistik (BPS). ”Pada tahun 2019 kami turun cukup tinggi. Kami belum dapat angka final, masih menunggu data BPS untuk bulan Desember 2019. Namun, perkiraan kami (ekspor di tahun 2019) turun sekitar 12,7 persen,” kata Firman.
Pada awal tahun 2019, ada asumsi bahwa penurunan ekspor berasal dari pasar Eropa yang memang turun cukup dalam. Namun, pada pertengahan hingga akhir tahun 2019, ternyata ekspor ke Amerika Serikat juga turun.
”Asumsi awal karena ekspor turun di Eropa, berarti kita kalah bersaing dengan Vietnam. Ini karena kita belum ada Indonesia-EU CEPA (Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa), tetapi ekspor ke AS pun turun. Dengan kondisi itu, kami melihat bahwa sebenarnya faktor utama ada di dalam negeri, yakni faktor industri kita yang tidak kompetitif,” ujar Firman.
Kondisi industri yang tidak kompetitif tersebut salah satunya disumbang dari beban tenaga kerja yang sangat besar. ”Untuk industri alas kaki di daerah Banten, biaya untuk tenaga kerja bisa 30 persen dari total biaya produksi. Itulah yang kemudian mendorong industri relokasi ke daerah, seperti Jawa Tengah,” katanya.
Faktor kedua, yakni soal negosiasi dagang. Negosiasi dagang dapat menurunkan tarif di negara tujuan ekspor sampai nol persen dari sebelumnya yang sekitar 12 persen.
”Negosiasi dagang ini salah satunya dengan Uni Eropa. Bahkan, dengan AS pun kita belum ada negosiasi dagang. Kami masih berharap dengan adanya GSP (fasilitas pembebasan tarif/generalized system of preference). Ini tantangan juga,” ujar Firman.
Uni Eropa dan AS adalah dua pasar utama, masing-masing menyerap 33 persen dan 27 persen dari total ekspor alas kaki Indonesia. ”Di dua kawasan itu kita sama sekali belum ada perjanjian dagang. (Negosiasi dagang) Ini wilayah pemerintah yang harus diselesaikan pemerintah,” kata Firman.
Sebelumnya, peneliti senior di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, TM Zakir Machmud, mengatakan, salah satu isu utama di industri manufaktur adalah harga input atau masukan yang tidak kompetitif.
Menurut Zakir, masukan di manufaktur tersebut antara lain biaya energi, biaya sumber daya manusia, dan biaya dana apabila industri tersebut meminjam uang di perbankan. ”Harga masukan yang tidak kompetitif akan menjadikan harga produk hasil produksi industri juga tidak bersaing,” katanya.
Peningkatan daya saing manufaktur di dalam negeri membutuhkan peran berbagai pemangku kepentingan, termasuk pelaku industri dan pemerintah. Kemampuan industri yang terbukti mampu bertahan dan berkembang dinilai dapat menciptakan citra positif dalam menarik investasi baru ke Indonesia.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan, nilai investasi kumulatif sektor industri dari tahun 2015 hingga September 2019 mencapai Rp 1.216,2 triliun. ”Tahun ini kami memproyeksikan investasi akan mencapai Rp 351 triliun,” kata Agus.
Data Kementerian Perindustrian, yang dipublikasikan pada Senin (3/2/2020) menyebutkan, penanaman modal dalam negeri (PMDN) sektor industri sepanjang tahun 2019 mencapai Rp 72,27 triliun. Nilai ini 18,8 persen dari total PMDN yang Rp 386,5 triliun.
Adapun penanaman modal asing (PMA) sektor industri tercatat Rp 143,3 triliun atau 33,8 persen dari total PMA sepanjang tahun 2019 yang Rp 423,1 triliun.