Kemitraan Koperasi dan Perusahaan Solusi Dongkrak Produktivitas Kopi Rakyat
Bermitra dengan koperasi petani menjadi pilihan karena ada jaminan dari sisi legalitas. Agar kemitraan langgeng, korporasi dan koperasi petani mesti saling terbuka dengan rutin bertemu untuk menjamin kelancaran bisnis.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam rangka meningkatkan produktivitas kopi, petani membutuhkan akses terhadap pembiayaan dan pasar. Akses tersebut dapat dicapai dengan model bisnis kemitraan antara koperasi petani kopi dan perusahaan besar penyerap hasil produksi pertanian atau offtaker.
Chairman of Executive Board Sustainable Coffee Platform of Indonesia (Scopi) Irvan Helmi menyatakan, sepanjang 10 tahun terakhir, konsumsi kopi meningkat 248 persen. ”Akan tetapi, produktivitas kopi (nasional) di hulu selama 10 tahun terakhir stagnan,” katanya dalam diskusi bertajuk ”A Better Business Model for Replanting by Coffee Farmers” yang digelar Scopi di Jakarta, Kamis (30/1/2020).
Berdasarkan data yang dihimpun Scopi, 96 persen produksi kopi nasional berasal dari perkebunan milik petani dengan produktivitas 700 kilogram per hektar. Sebagian lahan perkebunan kopi rakyat tersebut juga berisi tanaman berusia lebih dari 50 tahun.
Oleh karena itu, Staf Khusus Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah M Riza Damanik berpendapat, koperasi dapat menjadi solusi tantangan peningkatan produktivitas perkebunan kopi milik petani. Koperasi dapat mengonsolidasikan lahan perkebunan petani yang semula di bawah 1-2 hektar per individu menjadi 100 hektar.
Riza melanjutkan, koperasi menjadi lembaga atau organisasi yang mengomunikasikan berjalannya bisnis antara petani yang sudah terkonsolidasi dan perusahaan pembeli (offtaker). Koperasi petani kopi pun memiliki jaminan akses ke pembiayaan, baik kredit usaha rakyat, dana bergulir, maupun crowdfunding.
Menurut Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, kemitraan bisnis antara koperasi petani kopi dan pembeli yang berwujud kontrak penyerapan dapat menjadi jaminan pembiayaan. Selain itu, koperasi juga berperan menyediakan bibit, pupuk, sarana pengolahan hingga menjadi biji kopi segar, serta pendampingan penanaman dan pengolahan bagi petani.
Teten merencanakan, Kementerian Koperasi dan UKM akan membentuk sejumlah proyek percontohan penerapan model bisnis kemitraan koperasi petani kopi dengan perusahaan dalam tiga tahun ini. Proyek ini diharapkan dapat direplikasi di sejumlah sentra produksi kopi.
Model bisnis
Executive Chairman Inisiatif Dagang Hijau Fitrian Adriansyah menilai, model bisnis yang ditawarkan pemerintah sudah bersifat berkelanjutan. Ada tiga pilar yang mesti dipenuhi dalam bisnis kopi yang berkelanjutan, yakni kesejahteraan ekonomi petani, sosial, serta kelestarian lingkungan dan hutan.
Meskipun demikian, Fitrian berpendapat, model bisnis tersebut mendapatkan tantangan dari sisi penerapan di lapangan. Mesti ada pihak, seperti Scopi, yang memantau konsistensi pelaksanaan tiga pilar keberlanjutan dalam kemitraan bisnis antara koperasi petani kopi dan perusahaan pembeli.
Dari sisi pembeli, Members of Board Executive Scopi dari Nestle, Rudi Syahrudi, menuturkan, Netsle sudah 22 tahun bermitra dengan koperasi petani sebagai sumber pasokan bahan baku. Agar kemitraan langgeng, korporasi dan koperasi petani mesti saling terbuka dengan rutin bertemu untuk menjamin kelancaran bisnis.
Members of Board Executive Scopi dari Mayora, Richard Atmadja, berpendapat, bermitra dengan koperasi petani menjadi pilihan karena ada jaminan dari sisi legalitas. Dalam bermitra dengan petani, perusahaan membutuhkan kejelasan administrasi, rekening bank, hingga status lahan.
Oleh karena itu, Fitrian menilai, aspek pendampingan terhadap koperasi petani menjadi kunci dalam implementasi model bisnis kemitraan tersebut. ”Pendampingan mampu membuat koperasi petani memenuhi standar transparansi dan akuntabilitas yang dinilai penting bagi perusahaan,” katanya.
Memperluas lahan
Selain mengoptimalkan lahan yang sudah ada, Teten ingin memperluas lahan perkebunan kopi rakyat untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri dan global. Dalam penyediaan lahan ini, Kementerian Koperasi dan UKM bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kerja sama itu berwujud dalam kelompok usaha perhutanan sosial komoditas kopi. Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Koperasi dan UKM, ada 81 kelompok usaha di 17 provinsi yang berpotensi untuk dikembangkan.
Model pengembangan itu, menurut Teten, akan berorientasi pada pengolahan. Dia menargetkan, sentra pengolahan berdekatan dengan lahan perkebunan kopi demi efisiensi biaya produksi.
Menanggapi model pengembangan tersebut, anggota Dewan Penasihat Gabungan Eksportir Kopi Indonesia, Moenardji Soedargo, berpendapat, pemerintah mesti melihat kebutuhan proses produksi industri pengolahan kopi. ”Perkebunan kopi sebagian besar berada di dataran tinggi yang kelembaban udaranya tinggi. Hal ini dapat memengaruhi produksi yang membutuhkan kondisi udara yang kering,” katanya.
Selain itu, untuk memenuhi kebutuhan kopi di pasar dalam negeri dan internasional, Moenardji berpendapat, Indonesia membutuhkan tambahan 150.000 hektar. Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, luas lahan perkebunan kopi pada 2018 mencapai 1,24 juta hektar.