Impor Produk China Diperkirakan Turun, Garap Pasar Domestik
Peluang mengejar ekspor dan mendorong pasar domestik selalu ada. Merebaknya virus korona jenis baru di China sebenarnya bisa membuka kesempatan bagi produsen untuk masuk ke pasar domestik dan ekspor.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku industri dalam negeri harus menangkap berbagai peluang untuk mengoptimalkan penggarapan pasar domestik. Wabah virus korona diperkirakan akan mengurangi impor beberapa produk dari China.
”Kemungkinan yang akan turun adalah produk jadi plastik seperti mainan, kemasan, dan alat rumah tangga,” kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiyono ketika dihubungi di Jakarta, Kamis (30/1/2020).
Peluang untuk optimal menggarap ekspor, menurut Fajar, memerlukan waktu. Apalagi, perencanaan dan kontrak ekspor terkadang dibuat setiap beberapa bulan sekali atau tidak mendadak.
Peluang untuk optimal menggarap ekspor memerlukan waktu.
Ada pendapat, percepatan pengolahan di dalam negeri dibutuhkan agar Indonesia mampu mengoptimalkan penggarapan pasar dalam negeri dan juga ekspor. Ini termasuk untuk menangkap peluang ketika ada kondisi atau peristiwa seperti perang dagang ataupun merebaknya virus korona tipe baru dalam beberapa waktu terakhir.
Pendiri dan ekonom senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Hendri Saparini, mengatakan, akan ada dampak dari merebaknya virus korona di China bagi Indonesia.
”Hal pertama, karena kebijakan China yang dalam beberapa waktu akan menutup dulu, tidak hanya orang, tetapi juga barang,” ujar Hendri.
Sementara Indonesia memiliki ketergantungan terhadap bahan baku impor dari China, mulai dari sektor infrastruktur hingga kebutuhan industri lain. Hal itu akan mengganggu Indonesia dari sisi produksi. Secara keseluruhan, sekitar 70 persen dari impor Indonesia berupa bahan baku dan penolong.
Terkait peluang bagi pelaku domestik untuk mengejar substitusi produk China, ada masalah berupa sisi produksi yang tidak terbangun. Negara yang industrinya bisa menghasilkan barang dengan ketergantungan impor tidak terlalu tinggi dapat mengoptimalkan pasar domestik ataupun ekspor.
Sementara itu, Indonesia sangat bergantung pada bahan baku mentah ataupun setengah jadi. ”Kita mempunyai industri yang hulunya ada, intermediate (antara)-nya enggak ada, hilirnya ada. Jadi kita ekspor, impor lagi, baru ke hilir,” ujarnya.
Ada juga industri di Indonesia yang baik sisi hulu maupun antaranya tidak ada dan hanya ada industri hilirnya.
”Akibatnya, banyak yang harus diimpor sehingga sampai 80 persen kandungannya, seperti di produk-produk farmasi,” lanjut Hendri.
Ada juga industri yang belum ada di sisi hilirnya sehingga bahan baku atau setengah jadi langsung diekspor. Wabah virus korona menjadi pengingat kembali arti penting membangun industri, untuk mengurangi ketergantungan impor.
”Pemerintah sekarang betul-betul menetapkan tidak boleh mengekspor mineral. Menurut saya, ini harus didukung dan harus konsisten. Jangan lalu relaksasi, yang kadang-kadang alasannya jangka pendek karena sedang butuh penerimaan,” kata Hendri.
Ekspor tertunda
Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Handito Joewono mengatakan, wabah virus korona di Wuhan diperkirakan berdampak pada penundaan ekspor dalam 2-3 bulan ini. ”Kami berharap dampaknya tidak berkelanjutan,” ucapnya.
Handito mengatakan, perdagangan Indonesia-China dalam tiga bulan pertama 2020 diperkirakan turun, tetapi hanya bersifat penundaan. Wabah virus korona diperkirakan tidak akan berdampak berarti terhadap kinerja ekspor ataupun impor Indonesia secara tahunan.
”Demikian pula saya rasa tidak berpengaruh signifikan dalam hal substitusi barang (produk China) karena ini sifatnya lebih banyak jangka pendek,” katanya.
Handito menambahkan, wabah virus korona bukan merupakan faktor yang akan banyak menggerakkan substitusi barang, apalagi investasi. ”Waktu perang dagang AS-China pun kita enggak dapat (manfaatnya). Menurut saya, pelaku usaha akan lebih rasional dalam memandang insiden (wabah virus korona) ini,” katanya.
Handito meminta pelaku usaha Indonesia jangan terlalu khawatir. Pelaku usaha justru harus bersiap untuk bergerak mengisi kebutuhan di pasar ekspor begitu China membuka.
”Belum tentu negara-negara lain mampu memanfaatkan. Mungkin ada negara yang telanjur memblokade sana-sini sehingga tidak mudah bergeraknya,” lanjutnya.
Menurut Handito, kesempatan ini harus dimanfaatkan karena potensinya lebih besar dibandingkan efek perang dagang AS-China. ”Kita sulit memanfaatkan perang dagang karena mereka masih berpikir panjang lebar untuk membeli barang Indonesia. Ketika nanti sudah terkendali, maka ada shortage (kekurangan) kebutuhan. Nah, kekurangan kebutuhan ini tergantung siapa yang bisa memanfaatkan. Saya sih berharap, ayo, dunia usaha Indonesia siapkan,” tuturnya.