Ada beberapa jenis belanja yang penyerapannya akan digenjot pada awal tahun ini, misalnya dana desa. Penyaluran dana desa kini dipercepat menjadi berkisar 40-60 persen untuk tahap pertama.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menggunakan belanja negara sebagai instrumen kontra siklus untuk menjaga stabilitas perekonomian domestik. Tidak ada pemangkasan alokasi belanja sepanjang 2020 kendati risiko pelebaran defisit anggaran membayangi.
Alokasi belanja negara dalam APBN 2020 mencapai Rp 2.540,4 triliun, sementara target pendapatan negara Rp 2.233,2 triliun. Defisit anggaran tahun 2020 dipatok sebesar Rp 307,2 triliun atau 1,76 persen produk domestik bruto (PDB).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, belanja negara akan dibiarkan sesuai rencana untuk mengimbangi kondisi ekonomi yang tengah tertekan. Jika tidak, perlambatan pertumbuhan ekonomi berpotensi lebih tajam dari perkiraan. Arah kebijakan belanja untuk menjaga konsumsi domestik.
Sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang konsumsi domestik, yang porsinya berkisar 51-53 persen. Indonesia harus mempertahankan konsumsi rumah tangga tumbuh pada level 5,1 persen untuk menjaga pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen. Sumber pertumbuhan dari ekspor dan investasi masih terkontraksi.
”Belanja kementerian/lembaga serta transfer ke daerah dan dana desa diarahkan untuk menahan perlambatan pertumbuhan ekonomi,” kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Selasa (28/1/2020).
Ada beberapa jenis belanja yang penyerapannya akan digenjot pada awal tahun ini, misalnya dana desa. Penyaluran dana desa kini dipercepat menjadi berkisar 40-60 persen untuk tahap pertama. Selain itu, sebagian besar anggaran perlindungan sosial juga dicairkan pada semester I-2020, seperti Program Keluarga Harapan.
Sri Mulyani mengatakan, penyerapan belanja sesuai target saat penerimaan negara melambat memang berisiko. Defisit anggaran dan defisit keseimbangan primer berpotensi melebar dari target APBN 2020. Namun, pelebaran defisit bukan masalah sepanjang belanja digunakan untuk hal-hal produktif.
”Melihat perkembangan penerimaan, ada kemungkinan defisit APBN akan melebar dari target, seperti terjadi tahun 2019,” ucap Sri Mulyani.
Defisit APBN 2019 tercatat Rp 353 triliun atau 2,2 persen PDB. Defisit APBN melebar dari target Rp 296 triliun atau 1,84 persen PDB.
Dihubungi terpisah, Rektor Unika Atma Jaya Jakarta Agustinus Prasetyantoko berpendapat, kondisi perekonomian global semakin menantang. Relaksasi kebijakan moneter tidak mampu menahan perlambatan pertumbuhan ekonomi, seperti terjadi di Indonesia. Karena itu, dibutuhkan kebijakan fiskal yang proporsional.
”Untuk menjaga pertumbuhan ekonomi tetap di atas 5 persen, dibutuhkan peranan fiskal yang proporsional, dalam arti pelebaran defisit harus betul-betul untuk belanja yang memiliki dampak berganda bagi ekonomi,” ujar Prasetyantoko.
Pelebaran defisit APBN juga harus dipastikan mampu mendorong produktivitas dan daya saing sektor riil. Dengan demikian, pelebaran defisit akan dikompensasi dengan peningkatan penerimaan perpajakan. Jangan sampai pelebaran defisit hanya membebani APBN dan meningkatkan risiko fiskal masa depan.
Pembiayaan berlebih
Sri Mulyani menambahkan, sisa lebih pembiayaan anggaran tahun berkenaan (silpa) pada 2019 meningkat kendati defisit anggaran melebar. Hal itu tecermin dari peningkatan pembiayaan sepanjang tahun 2019 dari target Rp 296 triliun menjadi Rp 399,5 triliun. Pembiayaan berlebih dipengaruhi kondisi ketidakpastian ekonomi global.
”Pembiayaan yang berlebih (overfinancing) ini menyebabkan silpa meningkat cukup besar. Kelebihan kas terlalu besar juga merupakan bentuk inefisiensi,” katanya.
Ke depan, lanjut Sri Mulyani, penerbitan surat utang negara mesti lebih cermat di tengah ketidakpastian global yang meningkat. Sumber-sumber pembiayaan di luar penerbitan surat utang juga diupayakan. Salah satunya dengan pinjaman multilateral dari sejumlah lembaga internasional dengan tingkat bunga cukup kompetitif.
Kebutuhan pembiayaan tahun 2020 sebesar Rp 741,84 triliun untuk membiayai defisit APBN sebesar Rp 307,2 triliun, utang jatuh tempo Rp 389,98 triliun, dan pembiayaan nonutang/investasi Rp 44,62 triliun.
Kebutuhan pembiayaan itu akan dipenuhi dari utang luar negeri Rp 163,55 triliun (22,05 persen) dan utang domestik Rp 578,29 triliun (77,95 persen).
Menurut Sri Mulyani, 2019 dan 2020 bukan tahun yang mudah bagi Indonesia. Dampak perlemahan pertumbuhan ekonomi global mulai merembes ke perekonomian domestik. Karena itu, APBN sebagai instrumen fiskal mesti dikelola secara hati-hati, tetapi tetap ekspansif sebagai bantalan ekonomi.
Mengawali 2020, beberapa tekanan global yang mesti diwaspadai Indonesia adalah risiko geopolitik di Timur Tengah, dinamika politik di AS pascawacana pemakzulan Presiden Donald Trump, kesepakatan Brexit, perlambatan pertumbuhan ekonomi China dan India, serta merebaknya wabah virus korona.
Staf Ahli Bidang Makro Ekonomi dan Keuangan Internasional Suminto menambahkan, pembiayaan berlebih, dari penerbitan surat utang ataupun penarikan pinjaman, akan diminimalkan pada 2020. Salah satunya dengan menjaga komposisi kurs dan distribusi sepanjang tahun.
”Pemerintah tidak akan menerbitkan seluruh surat utang valas pada awal tahun meskipun kondisi global saat ini menguntungkan karena imbal hasil relatif rendah,” kata Suminto.