Optimalisasi Produksi Pertanian Butuh Transformasi Menyeluruh
Untuk meningkatkan produksi yang berorientasi ekspor, pertanian membutuhkan transformasi secara menyeluruh. Transformasi tak hanya menyangkut infrastruktur fisik, tetapi juga kualitas sumber daya manusia
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk meningkatkan produksi yang berorientasi ekspor, pertanian membutuhkan transformasi secara menyeluruh. Transformasi tak hanya menyangkut infrastruktur fisik, tetapi juga kualitas sumber daya manusia produsen pertanian atau petani.
Hal itu mengemuka dalam rapat kerja nasional Kementerian Pertanian yang digelar di Jakarta, Senin (27/1/2020). Selain Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, dan Wakil Ketua Komisi IV DPR Dedi Mulyadi juga hadir dalam rapat itu.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ekspor di sektor pertanian tumbuh 5,31 persen secara tahunan sepanjang Januari-Desember 2019 menjadi 3,61 miliar dollar Amerika Serikat (AS). Dibandingkan dengan sektor nonmigas lainnya, hanya pertanian yang mencatatkan pertumbuhan positif.
Oleh sebab itu, Agus Suparmanto menilai, pertanian menjadi sektor yang prospektif di antara sektor-sektor nonmigas. ”Kementerian Perdagangan berkomitmen meningkatkan akses pasar (produk pertanian) ke luar negeri dan mengembangkan kerja sama pusat promosi perdagangan di tingkat global bersama Kementerian Pertanian,” katanya pada konferensi pers setelah pembukaan rapat kerja nasional Kementerian Pertanian.
Dalam rangka meningkatkan kualitas dan kuantitas produk, baik untuk pasar dalam maupun luar negeri, pertanian membutuhkan transformasi. Dedi berpendapat, transformasi petani sebagai sumber daya manusia (SDM) produsen pertanian penting. Menurut dia, petani mesti memiliki kompetensi sebagai wirausaha.
Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani) Guntur Subagja berpendapat, kompetensi wirausaha dapat membuat petani melihat peluang-peluang atau cara-cara bertani yang meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk. ”Kompetensi wirausaha dapat mengubah pola pikir petani dari bertani sebagai kebiasaan menjadi bertani sebagai bisnis,” katanya saat dihubungi secara terpisah.
Peluang-peluang peningkatan daya saing itu, menurut Guntur, bersumber dari pemanfaatan bioteknologi yang menaikkan produktivitas dan pengelolaan lahan secara kolektif, minimal 10 hektar, agar proses produksi dapat semakin efisien. Dia merinci, saat ini petani cenderung mengelola lahan di skala keluarga dengan luas 2 hektar.
Ia menambahkan, pemerintah perlu menginkubasi inovasi-inovasi bisnis SDM muda di bidang pertanian dalam rangka transformasi tersebut. Inovasi bisnis itu mesti berorientasi pada peningkatan kualitas produk pertanian dalam negeri dan bersifat berkelanjutan.
Infrastruktur fisik
Selain infrastruktur SDM, Dedi menuturkan pentingnya transformasi infrastruktur fisik. Infrastruktur-infrastruktur fisik itu terdiri dari sistem irigasi, bendungan, embung, dan lahan pertanian.
Terkait lahan, Dedi menyoroti perbaikan kualitas tanah agar dapat produktif secara sehat tanpa pupuk kimia ataupun pestisida yang berdampak buruk. Selain itu, pembangunan dan tata ruang di sekitar lahan pertanian juga mesti mengedepankan prinsip keberlanjutan. Dia meminta agar hutan dan sungai yang berada di sekitar lahan pertanian tetap terjaga kelestariannya.
Sementara itu, Syahrul menyampaikan, transformasi pertanian juga menyertakan penerapan teknologi dengan dukungan mekanisasi. Sebagai contoh, dia berencana menerapkan teknologi kecerdasan buatan dengan sistem terstruktur.
Penerapan teknologi ini, menurut Syahrul, dapat menurunkan biaya produksi. Dipadukan dengan pengembangan kawasan berbasis korporasi, dia menyatakan, produksi pertanian kian efisien, baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor.
Dalam mewujudkan transformasi itu, Tito menyatakan, pemerintah pusat dan daerah mesti bersinergi. ”Perlu ada sinkronisasi program antara pusat dan daerah. Dalam hal ini, kami akan mengulas perencanaan daerah, termasuk di bidang pertanian,” katanya.
Sebagai wujud sinkronisasi itu, Tito berpendapat, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mesti sejalan dengan program pertanian nasional yang disusun Kementerian Pertanian. Eksekusi program pertanian di tingkat daerah pun mesti berorientasi pada manfaat yang dirasakan oleh masyarakat.
BPS mencatat, produk dari ekspor sektor pertanian yang mengalami pertumbuhan sepanjang 2019 berasal dari kelompok peternakan yang naik 22,68 persen secara tahunan menjadi 432.823 dollar AS. Kelompok pertanian tanaman tahunan mencatatkan nilai ekspor tertinggi di sektor pertanian sepanjang 2019, yakni 2,13 juta dollar AS dan tumbuh 4,67 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Di hilir, Agus menilai, peningkatan kualitas kargo perlu menjadi prioritas untuk meningkatkan daya saing produk pertanian di kancah internasional. Negara-negara di Eropa menjadi salah satu pasar yang potensial.
Agus mengatakan, Indonesia perlu mencontoh Thailand dalam proses ekspor produk pertanian. ”Thailand memiliki kargo tersendiri yang khusus untuk mengekspor produk pertanian ke negara-negara lain,” ujarnya.