Indonesia memiliki potensi energi terbarukan berbeda di setiap daerah. Untuk memanfaatkannya, perlu solusi sistem atau teknologi cerdas. Peran tak kalah penting diemban pemerintah, berupa kebijakan pro-energi terbarukan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
Pengelolaan energi di Indonesia mesti menggunakan perencanaan terpadu. Perencanaan yang terpadu itu adalah mengembangkan potensi lokal yang ada di setiap daerah di Indonesia. Potensi lokal tersebut berbeda-beda antara satu daerah dan daerah lain.
Helena Saren, Kepala Departemen Smart Energy pada Team Finland, mengatakan, Indonesia, negara kepulauan terbesar di dunia, juga memiliki sumber daya energi terbarukan yang melimpah.
"Untuk urusan produksi energi di Indonesia, sudut pandangnya harus holistik. Potensi lokal dan sumber daya lokal harus dimanfaatkan. Misalnya, sebuah daerah banyak menghasilkan sampah. Apa yang bisa dilakukan dengan keadaan tersebut? Hal itu yang harus dicari jawabannya," tutur Helena dalam wawancara bersama Duta Besar Finlandia untuk Indonesia Jari Sinkari dan Konselor Komersial Team Finland Jyrki Harkki, pekan lalu, di Jakarta.
Untuk urusan pemanfaatan energi terbarukan, Finlandia jauh lebih maju ketimbang Indonesia. Dari 67 terawatt per jam (tWh) listrik yang dikonsumsi sepanjang 2018, sebanyak 15,3 persen di antaranya dari sumber energi fosil, yaitu gas alam, minyak, dan batubara. Adapun sebagian besar lainnya diproduksi dari sumber energi baru dan terbarukan.
Selain nuklir, Finlandia mengoptimalkan sumber energi lain secara beragam, yakni hidro, bayu, surya, biomassa, dan sampah atau limbah.
Lebih jauh Helena menjelaskan, sesungguhnya sampah yang banyak dianggap sebagai masalah bisa diubah menjadi sumber energi. Pembakaran sampah, dengan berbagai metode, bisa menghasilkan panas, uap, atau listrik.
Jadi, menurut dia, selain bermanfaat menghasilkan energi, lingkungan juga terselamatkan dari dampak buruk sampah.
Jari membenarkan pernyataan Helena. Menurut dia, Jakarta, sebagai salah satu kota besar penghasil sampah dalam jumlah yang cukup signifikan, dapat menerapkan metode tersebut. Sampah di Jakarta yang mencapai 8.000 ton per hari bisa diubah menjadi energi.
"Saya sudah tinggal di Jakarta selama 16 bulan. Saya pikir, dengan jumlah sampah mencapai 8.000 ton per hari, ada energi yang dapat dihasilkan (dari sampah)," ujarnya.
Sampah sebanyak itu baru di Jakarta. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), ada potensi sumber energi terbarukan sebesar 400.000 megawatt yang terdiri dari tenaga surya, panas bumi, hidro, bayu, dan bahan bakar nabati. Angka ini jauh melampaui kapasitas terpasang listrik saat ini yang sebesar 69.000 megawatt.
Dari total kapasitas terpasang itu, kontribusi terbesar atau sekitar 60 persen adalah dari pembakaran batubara.
Terpadu
Contoh konsep terpadu dalam pengelolaan energi di Indonesia ada di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Pulau ini memiliki potensi tenaga hidro, surya, bayu, dan biogas.
Desa Kamanggih yang terletak di Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur, telah mempraktikkan pengelolaan energi yang terpadu.
Masyarakat di Kamanggih memperoleh listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro Mbaku Hau. Bahkan, pasokan listrik dari pembangkit tersebut berlebih sehingga sisanya bisa dijual ke PLN.
Untuk urusan memasak, warga tak lagi membakar kayu atau minyak tanah. Kotoran ternak sapi dan babi diubah menjadi biogas yang lebih ramah lingkungan dan tak menghasilkan karbon.
Menurut Helena, Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau harus memiliki solusi berdasarkan kondisi geografis setiap pulau. Upaya itu bisa dilakukan melalui hal-hal kecil, antara lain pemanfaatan sampah untuk energi.
Namun, dengan keragaman sumber energi terbarukan di Indonesia, sistem atau teknologi cerdas juga diperlukan.
"Idealnya, ada sistem pembangkit listrik cerdas yang bisa menggabungkan sumber energi yang ada. Teknologi mengenai hal tersebut sudah ada," kata Helena.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform Fabby Tumiwa berpendapat, diperlukan kebijakan yang progresif dan revolusioner untuk membawa Indonesia menuju pengembangan energi terbarukan yang optimal.
Sejumlah negara, seperti Vietnam, melalui kebijakan fiskal dan regulasi yang ramah investasi, berhasil membawa negara itu pada realisasi pembangkit listrik tenaga surya 4.500 megawatt (MW) pada 2019. Bahkan, Vietnam berencana menaikkan kapasitasnya menjadi 10.000 MW pada 2020.
"Vietnam saja bisa, kenapa Indonesia tidak? Artinya, kebijakan pemerintahnya berpengaruh penting terhadap keberhasilan program transisi energi dari ketergantungan pada energi fosil ke energi terbarukan," kata Fabby. (ARIS PRASETYO)