Ketidakakuratan data produksi jagung kembali menuai masalah di hilir. Kini peternak kembali menanggung beban kenaikan ongkos produksi yang didorong naiknya harga jagung. Data mesti diperbaiki segera.
Oleh
MUKHAMAD KURNIAWAN
·3 menit baca
Hari-hari ini, para peternak unggas tengah menjalani masa sulit, terutama akibat tingginya harga jagung. Harga bahan baku utama pakan ini terus naik sejak September 2019. Harganya kini sedang menapaki puncak seiring merosotnya pasokan. Krisis jagung diperkirakan berlangsung hingga panen tiba akhir Februari atau awal Maret 2020.
Sampai pekan lalu, harga jagung di tingkat peternak di sentra-sentra peternakan ayam di Jawa Tengah dan Jawa Timur berkisar Rp 4.500-Rp 5.000 per kilogram (kg). Angka itu berpotensi makin tinggi. Padahal, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2018, harga acuan penjualan di tingkat konsumen ditetapkan Rp 4.000 per kg.
Regulasi itu sejatinya dimaksudkan untuk melindungi harga di hulu atau di petani produsen serta masyarakat konsumen di hilir.
Namun, ketentuan soal harga acuan sering tak bergigi menghadapi kuasa pasar. Harga di pasar hanya patuh pada hukum penawaran dan permintaan, termasuk harga jagung yang naik turun sejalan fluktuasi pasokan.
Problem harga jagung berulang menghantam sektor perunggasan nasional setidaknya lima tahun terakhir. Oleh karena menjadi bahan baku dominan dalam struktur produksi pakan, kenaikan harga jagung sangat berdampak terhadap industri peternakan, khususnya peternak unggas rakyat yang bermodal cekak.
Problem jagung diyakini berakar pada ketidakakuratan data produksi. Oleh karena yakin produksi surplus, pemerintah memutuskan untuk mengurangi impor jagung pada 2016 dan menghentikannya mulai 2017.
Akan tetapi, situasi harga serba berkebalikan. Keputusan mengurangi impor jagung justru diikuti oleh lonjakan impor gandum untuk pakan ternak, yakni dari 7,6 juta ton pada 2015 menjadi 10,8 juta ton pada 2016. Situasi itu berlanjut meski produksi jagung nasional diyakini tumbuh.
Ketidaksinkronan data masih terjadi hingga kini. Tahun lalu, misalnya, Kementerian Pertanian memperkirakan produksi jagung mencapai 33 juta ton. Namun, menurut Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA), produksi jagung Indonesia tahun lalu hanya 13,3 juta ton. Data surplus jagung bulanan juga dianggap tidak tecermin pada harga jagung dari Desember 2019 hingga Januari 2020.
Sayangnya, problem akurasi data tak hanya terjadi di hulu. Data produksi daging dan telur ayam pun dianggap mengacaukan situasi di hilir. Ini tecermin dari berulangnya kasus harga jual ayam dan telur ayam yang anjlok hingga di bawah ongkos produksi dua tahun terakhir. Ketidakakuratan data mengirim sinyal yang salah ke perencanaan produksi. Dampaknya, peternak menanggung beban ganda, tekor di hulu sekaligus di hilir.
Sejatinya teramat sayang membiarkan perunggasan berkali-kali dihantam masalah dan diselesaikan dengan "obat" yang kurang tepat. Apalagi sektor ini telah terbukti mampu mencukupi kebutuhan daging dan telur ayam sekaligus menghidupi jutaan rumah tangga peternak.
Perbaikan metode pendataan produksi jagung, sebagaimana ditempuh pada komoditas beras, mendesak diselesaikan selain soal pengelolaan stok. Harapannya, mala atau bencana tak lagi menimpa peternak. Semoga.