Praktik Tata Kelola Batubara Dinilai Tidak Konsisten
Praktik kebijakan tata kelola pertambangan dinilai tidak dijalankan secara konsisten oleh pemerintah. Pelaksanaan kebijakan seringkali menyeleweng dari beleid yang telah ditetapkan sebelumnya.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Area bekas tambang batubara yang dibiarkan tanpa reklamasi dan rehabilitasi di Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, Sabtu (4/1/2020). Sektor pertambangan diperkirakan masih jadi penopang utama perekonomian Kalsel pada tahun 2020.
JAKARTA, KOMPAS - Praktik kebijakan tata kelola pertambangan dinilai tidak dijalankan secara konsisten oleh pemerintah. Pelaksanaan kebijakan seringkali menyeleweng dari beleid yang telah ditetapkan sebelumnya.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyampaikan pandangannya tersebut di sela-sela diskusi publik "RUU Minerba dan Masa Depan Tata Kelola Sektor Pertambangan di Indonesia" di Jakarta, Senin (20/1/2020), di Jakarta.
Fabby mencontohkan batubara. Menurut dokumen Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) atau Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, produksi batubara tahun 2019 seharusnya dibatasi hanya 400 juta ton saja. Namun, realisasi produksinya selalu lebih tinggi sejak 2015 atau tidak sesuai dokumen. Tahun ini, pemerintah disebut telah menetapkan produksi batubara mencapai 550 juta ton.
Praktik seperti itu bisa terjadi, menurut Fabby, terjadi karena pemerintah membutuhkan devisa untuk menambal defisit neraca transaksi berjalan. Dalam jangka panjang, aktivitas itu bisa berdampak ke ketahanan cadangan. Kerusakan lingkungan juga berpotensi terjadi apabila kolam raksasa bekas tidak dikelola.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017, batubara dinyatakan dipakai untuk energi nasional. Hal ini berarti batubara bukan semata-mata komoditas. Dorongan membangun smelter sudah diserukan empat tahun sebelum peraturan itu terbit.
SUMBER: KEMENTERIAN ESDM
Grafis produksi batubara dalam negeri dan kuota pasokan batubara.
Akan tetapi, oleh karena kebutuhan ekspor tinggi dan pelaku belum siap membangun smelter, akhirnya ekspor terus berjalan. Dilemanya sekarang adalah permintaan batubara dari luar negeri terlanjur meninggi dan pembangunan smelter sudah siap.
"Sekitar 80 persen produksi batubara Indonesia diperuntukkan untuk ekspor. Tren yang sekarang sedang berlangsung adalah negara-negara tujuan ekspor yang juga produsen batubara mulai membatasi impor, termasuk dari Indonesia. Mereka mulai memonetisasi batubara miliknya dan diekspor ke kawasan Asia," ujarnya.
Koordinator Publish What You Pay Indonesia/Koalisi Masyarakat Sipil Kawal RUU Minerba, Maryati Abdullah berpendapat, pengaturan kuota produksi baik mineral maupun batubara semestinya dipetakan per wilayah. Perusahaan mengikuti strategi pertumbuhan ekonomi. Perbaikan tata kelola juga harus menyasar ke pengendalian produksi, ekspor, dan penghitungan kebutuhan pasar domestik untuk tujuan hilirisasi. Penghitungan ini berfungsi untuk tujuan penerimaan fiskal.
KOMPAS/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
Peresmian terminal batubara PLTU Jawa 7, Jumat (5/7/2019), di Serang, Banten. Unit pertama PLTU berkapasitas 2x1.000 MW tersebut dutargetkan beroperasi Oktober tahun ini.
"Potensi perdagangan ilegal perlu menjadi perhatian utama, seperti pengawasan kepatuhan penggunaan cabotage atau kapal berbendera Indonesia," ujar Maryati.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia, Rizal Kasli, memandang pentingnya industrialisasi mineral dan batubara agar tercipta peningkatan nilai tambah sekaligus kemandirian bahan baku industri dalam negeri. Industrialisasi membutuhkan kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang terintegrasi.
Meski demikian, industrialisasi mineral dan batubara disarankan tidak mengabaikan eksplorasi dan ketahanan cadangan nasional. Untuk eksplorasi baru, dia menyatakan terjadi penurunan sejak tahun 2013. Sementara ketahanan cadangan mineral dan batu bara nasional berkaitan erat kegiatan produksi yang sekarang sedang berjalan dan menghasilkan volume melebihi kuota yang ditetapkan.
Kepala Subdirektorat Bimbingan Usaha Batu Bara Ditjen Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Heriyanto menyatakan, berdasarkan rencana kerja anggaran dan belanja perusahaan batubara, produksi tahun 2020 mencapai 550 juta ton dan tahun 2021 sebesar 585 juta ton. Penetapan produksi sebanyak itu telah memperhitungkan nilai ekonomi.
SUMBER: KEMENTERIAN ESDM
Harga komoditas minyak mentah dan batubara Indonesia yang fluktuatif pada 2019 sampai triwulan III.
Akan tetapi, jika mengikuti feasibility study perusahaan, jumlah produksi batubara bisa mencapai 800-900 juta ton. Menurut dia, Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) telah terlibat menelusuri dan menemukan kelebihan kuota produksi 600 - 700 juta ton.
"Melalui rencana kerja anggaran dan belanja perusahaan batu bara, kami telah mempertimbangkan volume produksi yang pas agar jangan sampai terlalu berlebih sehingga harga jatuh. Ketika harga anjlok, pemerintah juga akan rugi pendapatan," tambah dia.
Terkait kondisi pasar ekspor, Heriyanto menjelaskan negara-negara kawasan Eropa telah melarang penggunaan batubara. Akibatnya, ekspor batubara Indonesia tidak masuk ke kawasan itu sehingga harus mencari pasar lain.
Di dalam negeri, pemerintah Indonesia melalui rencana jangka panjang telah memutuskan tahun 2046 batubara sudah tidak boleh diekspor. Sebagai gantinya, batubara akan langsung dipakai memenuhi kebutuhan energi nasional.
Oleh karena itu, penyiapan pembangkit listrik tenaga uap mulut tambang sebagai salah satu cara penyerapan harus gencar disiapkan. Kementerian ESDM mengusulkan pemberian insentif nonfiskal kepada perusahaan pertambangan yang mau membangun smelter dan pengelola PLTU mulut tambang yang menyerap produksi batu bara domestik.