Kementerian BUMN akan mengonsolidasikan dana pensiun korporasi asuransi pelat merah, khususnya Jiwasraya dan Asabri. Namun, rencana itu menunggu kondisi keduanya membaik.
Oleh
m paschalia judith j
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Badan Usaha Milik Negara akan mengonsolidasikan dana pensiun korporasi asuransi pelat merah, khususnya PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau Asabri. Namun, rencana itu menunggu kondisi keduanya membaik.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan, pemerintah telah menyiapkan langkah-langkah reformasi BUMN asuransi. ”Kalau Jiwasraya dan Asabri sudah membaik, dana pensiun di perusahaan-perusahaan BUMN dapat dikonsolidasikan secara bertahap agar tidak terjadi hal-hal seperti ini,” ujarnya saat ditemui di Jakarta, Jumat (17/1/2020).
Pada Desember 2019, Jiwasraya mengalami gagal bayar klaim nasabah hingga Rp 12,4 triliun. Badan Pemeriksa Keuangan mencatat, modal perusahaan BUMN ini minus Rp 27,7 triliun per November 2019. Jiwasraya telah merugi sejak 2006 (Kompas, 17/1/2020).
Pengamat asuransi sekaligus dosen Program Master Manajemen Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Kapler Marpaung, menilai, jalan penyelamatan kerugian Jiwasraya ialah suntikan dana dari investor sehingga sumber dananya tidak berasal dari APBN ataupun utang. Artinya, pemerintah selaku pemegang saham mayoritas Jiwasraya memfasilitasi pencarian investor bagi perusahaan BUMN tersebut.
Pilihan itu merupakan jalan yang paling efektif dan efisien untuk membayar dana klaim nasabah. Nasabah telah memberikan uangnya untuk dikelola dan dikembalikan pada waktu yang sudah ditentukan.
”Suntikan dana dari investor itu dapat menyelesaikan kerugian nasabah dalam jangka waktu setahun,” ucap Kapler.
Kapler juga menyatakan, menggunakan anak perusahaan Jiwasraya juga bukan pilihan efektif dan efisien. Sebab, manfaat keuntungan dan pengelolaan asetnya baru akan berdampak pada beberapa tahun kemudian.
Selain itu, pendirian perusahaan induk korporasi asuransi demi penyelamatan Jiwasraya juga bukan langkah yang efektif dan efisien. ”Aset yang tergabung dalam induk perusahaan memang besar dan dapat membayar kerugian nasabah. Namun, beban itu tidak hilang, hanya pindah ke perusahaan induk,” katanya.
Aset yang tergabung dalam induk perusahaan memang besar dan dapat membayar kerugian nasabah. Namun, beban itu tidak hilang, hanya pindah ke perusahaan induk.
Investasi rendah risiko
Kendati begitu, Kapler menilai, industri asuransi nasional mesti diselamatkan. Kasus Jiwasraya dan Asabri dapat menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap industri asuransi nasional sehingga industri tersebut berpotensi tumbang.
Salah satu cara mentransformasi industri asuransi nasional adalah dengan mengawasi investasi dana nasabah yang diinvestasikan ke saham. Proporsi uang nasabah yang diinvestasikan ke saham juga mesti dibatasi.
”Dana nasabah itu sebaiknya dialihkan ke instrumen investasi yang lebih rendah risikonya, seperti deposito, surat utang negara, atau surat berharga negara,” ujarnya.
Menurut Kapler, kasus Jiwasraya dan Asabri menjadi momentum transformasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI). Pengawasan OJK ke industri-industri asuransi besar mesti ditingkatkan karena menghimpun dana masyarakat lebih banyak.
Sementara itu, BEI mesti meningkatkan sistem yang menunjang transparansi dan keterbukaan kinerja tiap emiten. ”Wujud konkret dari transformasi ini ialah nasabah dapat memantau aliran dananya secara transparan dari saat disetor ke perusahaan asuransi hingga penempatan dananya,” ucapnya.