Pemerintah masih terus membangun infrastruktur telekomunikasi di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan tersebut menggunakan dana kewajiban pelayanan universal.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS--Program pembangunan infrastruktur telekomunikasi menggunakan dana kewajiban pelayanan universal masih tetap diperlukan. Infrastruktur ini terutama untuk wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar Indonesia.
Namun, transparansi pengelolaan dana dan pencapaian hasilnya perlu diutamakan.
Dana kewajiban pelayanan universal atau USO berasal dari iuran 1,25 persen terhadap pendapatan kotor operator jaringan dan jasa telekomunikasi. Dana yang terkumpul dikelola Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika. Berdasarkan data BAKTI, rata-rata penerimaan dana USO sebesar Rp 2,5 triliun per tahun.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai NasDem Muhammad Farhan, Senin (13/1/2020), di Jakarta, mengatakan, sampai sekarang BAKTI belum terbuka mengenai pengelolaan anggaran. Informasi tidak resmi yang diterima Komisi I DPR menyebutkan, iuran USO tidak bisa menutup defisit anggaran. Selain itu, Komisi I DPR juga belum menerima laporan terbaru mengenai penggunaan iuran USO untuk infrastruktur dan utilisasi fasilitas akses internet.
"Intinya, kami menunggu BAKTI untuk menyetor laporan yang transparan, baik berupa pengelolaan anggaran maupun pencapaian pembangunan. Apakah defisit dan apakah perlu pembiayaan tambahan dari negara?" kata Farhan.
Ketua Bidang Infrastruktur Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Nonot Harsono menggambarkan, dana USO digunakan untuk membangun pemancar dan akses internet. Untuk pemancar, dana pembangunan berasal dari USO, sedangkan eksekusi dan perawatannya dari dana operator telekomunikasi seluler.
Adapun untuk akses internet, pembangunan serta perawatannya menggunakan dana USO sepenuhnya. Sejak ada proyek jaringan tulang punggung Palapa Ring, dana USO juga digunakan untuk membayar konsensi kepada investor selama 15 tahun karena proyek menggunakan skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha.
Mengenai penetapan lokasi pembangunan infrastruktur, Nonot berpendapat, sejauh ini juga belum transparan. Menurut dia, penetapan lokasi pembangunan USO semestinya selalu dikaji ulang mengikuti penambahan desa. Terakhir kali pemerintah menetapkan jumlah lokasi USO pada 2005.
"Kami rasa, penetapan lokasi tujuan pembangunan infrastruktur telekomunikasi memakai skema USO bukan semata-mata menyasar ke wilayah tertinggal, terdepan dan terluar Indonesia, melainkan juga wilayah yang dianggap operator kurang komersial," kata Nonot.
Berdasarkan data peta sebaran jangkauan layanan seluler Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2018, layanan berteknologi akses 2G telah menyasar 88,28 persen desa, layanan 3G menyasar 75,09 persen desa, dan 4G menjangkau 50,88 persen desa.
Direktur Sumber Daya dan Administrasi BAKTI Fadhilah Matar, saat dikonfirmasi secara terpisah membenarkan , penerimaan USO yang diperoleh sangat terbatas dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Kebutuhan tersebut berupa pembangunan pemancar dan akses internet di ribuan lokasi yang belum mendapat sinyal telekomunikasi seluler (blank spot) atau internet, terutama di daerah 3T dan nonkomersial.
Selain pemancar dan akses internet, BAKTI juga melanjutkan penyediaan layanan program tahun 2019, di antaranya utilisasi jaringan tulang punggung hasil proyek Palapa Ring.
"Pembangunan infrastruktur telekomunikasi di lokasi-lokasi baru masih menunggu kepastian ketersediaan anggaran yang saat ini sedang kami upayakan melalui beberapa mekanisme yang kamipun masih bahas dengan Kementerian Keuangan," ujar dia. (MED)