Geopolitik adalah salah satu risiko yang dihadapi dunia, selain risiko lain, termasuk stagnasi perekonomian global. Untuk menghadapi berbagai risiko itu, produktivitas dan daya saing mesti didorong.
Oleh
A Prasetyantoko
·5 menit baca
Meski ketegangan Iran-Amerika Serikat mereda, namun risiko geopolitik sama sekali belum sirna. Pada April 2019, JP Morgan sudah mengingatkan prospek sektor keuangan global akan sangat dipengaruhi risiko geopolitik yang cenderung meningkat. Morgan Stanley pada Desember 2019 juga merilis 10 risiko geopolitik 2020, di antaranya persoalan Iran pada peringkat kesembilan.
Sementara, BlackRock Investment Institute (manajer investasi) pada Desember 2019 juga menunjukkan potensi peningkatan konflik di kawasan Teluk, di mana AS sebagai pelaku utamanya. Konflik AS dan Iran sebenarnya sudah terjadi sejak 1979 saat terjadi Revolusi Islam di bawah Ayatollah Khomeini.
Belakangan, konflik meningkat sejak AS menyatakan keluar dari kesepakatan nuklir dengan Iran pada 2018 yang diikuti dengan penerapan sanksi ekonomi. BlackRock pada akhir tahun lalu masih meyakini konflik terbuka antar-keduanya sangat kecil kemungkinannya. Namun kini, potensi risiko tersebut sudah terealisasi.
Dampak serangan pesawat nirawak AS yang menewaskan Qasem Soleimani sempat mendongkrak harga minyak serta menimbulkan kepanikan di pasar keuangan global.
Harga minyak sempat menembus 70 dollar AS per barel, tertinggi sejak serangan pesawat nirawak kelompok Houthi pada fasilitas minyak Arab Saudi, September 2019. Pasar saham FTSE 100 London sempat merosot 0,6 persen, sementara indeks S&P 500 dan Dow Jones Industrial Average di pasar saham New York juga sempat turun (The Guardian, 6/1/2020).
Dengan konflik terbuka AS-Iran yang mereda, harga minyak cenderung turun. Pada hari Rabu (8/1), harga minyak mentah jenis Brent turun lebih dari 3 persen menjadi 65,78 dollar AS pe barel, sedangkan harga minyak di pasar New York dan West Texas International terkoreksi lebih dari 4 persen (BBC News, 8/1/2020).
Dampak struktural
Soal konflik AS-Iran, banyak pihak memperkirakan tak akan berlanjut seiring proses negosiasi. Kalaupun perang terbuka tak terelakkan, dampaknya pada harga minyak juga diyakini tak akan fatal.
Para pengamat menyatakan, harga minyak akan tembus di atas 100 dolar AS per barel jika terjadi penutupan jalur distribusi utama minyak di Selat Hormuz. Namun, karena ada banyak negara berkepentingan dengan jalur logistik utama minyak dunia, risiko penutupan sangat kecil, paling tidak hingga saat ini.
Jika dampak langsung risiko konflik kawasan Teluk dinilai tak begitu penting, lalu mengapa kita harus risau? Konflik AS-Iran hanya sebagian kecil dari risiko geopolitik global. Persoalannya, secara umum risiko geopolitik ini terus meningkat dan cenderung menjadi permanen. Risiko geopolitik secara beruntun terus terealisasi, mulai dari konflik AS-China, Brexit, konflik di kawasan Eropa, Amerika Latin, Hong Kong, hingga kawasan Teluk.
Peningkatan risiko geopolitik berdampak langsung pada perekonomian. Pertama, arus perdagangan dan investasi global terus merosot, terutama sejak perang dagang AS-China. Kedua, mata rantai industri berubah seiring output perekonomian yang merosot. Ketiga, koordinasi antar-negara melemah sehingga persoalan ekonomi makin sulit diselesaikan.
Bank Dunia dalam laporan terbarunya, Global Economic Prospects 2020, memproyeksikan pertumbuhan global 2020 sebesar 2,5 persen atau sedikit membaik dari tahun lalu yang 2,4 persen. Meski membaik, prospek ekonomi tetap rapuh dan tak pasti.
Salah satu sumber kerapuhan adalah akumulasi utang yang sejak 1970-an merupakan fase terbesar dan tercepat. Kenaikan rasio utang, baik di negara maju maupun berkembang, tak terlepas dari pelemahan perekonomian sejak krisis 2008. Penerbitan surat utang pemerintah terjadi begitu masif sebagai upaya menstimulus ekonomi.
Persoalannya, setelah satu dekade bergulat dengan krisis, produktivititas perekonomian tak juga meningkat. Justru sekarang terlihat persoalan sisi produksi yang mandek. Jika krisis produksi terjadi, stagnasi perekonomian akan sangat panjang karena stimulus sudah tak bisa lagi diberikan. Maka, Bank Dunia merekomendasikan reformasi pada sisi produksi dengan cara meningkatkan produktivitas serta membangun pola pertumbuhan jangka panjang lebih inklusif.
Perekonomian domestik juga mengalami persoalan serupa. Sejak krisis 1998, perekonomian kita tak ditopang produktivitas sektor industri yang memadai. Perekonomian lebih banyak didorong kenaikan harga komoditas dan sektor jasa. Sementara, produktivitas sektor riil cenderung melemah.
Pelemahan produktivitas dan daya saing ditunjukkan dengan persoalan akut pada neraca transaksi berjalan, khususnya neraca perdagangan. Terkait konflik di Timur Tengah, potensi kenaikan harga minyak akan menjadi ancaman sangat serius, mengingat defisit migas kita masih begitu besar.
Menghadapi peningkatan risiko geopolitik yang disertai risiko stagnasi global, saatnya berubah cepat untuk mendorong produktivitas dan daya saing.
Produktivitas ditentukan tiga faktor utama, yaitu modal, keterampilan (kualitas sumber daya manusia), dan teknologi. Selama ini pemerintah fokus meningkatkan modal melalui peningkatan investasi asing. Peningkatan kualitas SDM tengah dilakukan. Bagaimana dengan pemanfaatan teknologi guna mendorong produktivitas?
Kementerian Keuangan bersama Bank Pembangunan Asia (ADB) melakukan kajian berjudul Innovate Indonesia. Laporan ini dirilis dalam Annual International Forum on Economic Development and Public Policy (AIFED) di Bali (5-6/12/2019). Kajian tersebut menunjukkan peta jalan adopsi teknologi dalam meningkatkan produktivitas dan daya saing pereknonomian domestik.
Tidak ada jalan yang mudah karena teknologi tak sekadar faktor teknis, namun juga soal kelembagaan dan kompetensi. Kendati faktor utama pendorong produktivitas adalah modal, SDM, dan teknologi, namun ada faktor kelembagaan yang juga penting. Tanpa transformasi kelembagaan, segala upaya mendorong produktivitas dan daya saing tak akan maksimal.
Pemerintah sudah sangat maju merombak peraturan lewat rencana penerbitan Omnibus Law, baik di bidang perpajakan maupun penciptaan lapangan kerja. Terlihat orientasi menarik modal asing. Namun, tanpa pembenahan birokrasi, segala upaya mendorong perekonomian cenderung sia-sia.
Kita pernah merilis Paket Kebijakan hingga 16 paket, namun dampaknya belum sesuai harapan. Pengalaman tersebut menjadi pelajaran berharga dalam rencana penerbitan Omnibus Law. Jangan sampai berujung pada situasi serupa.
(A Prasetyantoko, Pengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta)