Indonesia Gaet Uni Emirat Arab
Indonesia bekerja sama dengan Uni Emirat Arab, antara lain mengembangkan hilir minyak dan gas. Di sisi lain, investasi di hulu migas cenderung terbatas. Padahal, hulu migas berkaitan dengan produksi migas di Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia menggandeng Uni Emirat Arab dalam kerja sama proyek pengembangan sektor energi. Proyek tersebut meliputi pembangunan kilang minyak, pembangkit listrik tenaga surya, smelter aluminium, hingga kontrak jual beli elpiji.
Nilai kerja sama tersebut mencapai ratusan triliun rupiah.
Kerja sama diawali dengan kunjungan Menteri ESDM Arifin Tasrif ke Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), pada Sabtu pekan lalu. Arifin menyaksikan penandatanganan nota kesepahaman antara PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum dengan Emirates Global Aluminium.
Siaran pers Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Senin (13/1/2020) malam menyebutkan, kerja sama ini meliputi transfer teknologi untuk peningkatan kapasitas produksi aluminium pada smelter Inalum.
"Selama masa uji coba nanti, peningkatan produksi ingot (aluminium batangan) sebanyak 20.000 ton per tahun. Rencana jangka panjangnya adalah menaikkan kapasitas produksi ingot dari 250.000 ton per tahun menjadi 300.000 ton per tahun," ujar Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama pada Kementerian ESDM Agung Pribadi, saat dihubungi, Selasa (14/1), di Jakarta.
Untuk pengembangan energi terbarukan, lanjut Agung, PT Pembangkitan Jawa Bali, anak usaha PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), menandatangani perjanjian jual beli tenaga listrik dengan Masdar, pengembang listrik dari energi terbarukan yang berbasis di Abu Dhabi. Jual beli tenaga listrik tersebut untuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung di Cirata, Jawa Barat, dengan kapasitas 145 megawatt. Nilai kerja sama proyek tersebut sebesar 129 juta dollar AS atau setara Rp 1,7 triliun.
Untuk pembangunan kilang, PT Pertamina (Persero) meneken perjanjian dengan Mubadala Investment Company, perusahaan migas UEA, untuk melanjutkan negosiasi kepemilikan saham PT Kilang Pertamina Balikpapan hingga 49 persen. Adapun kerja sama Pertamina dengan Abu Dhabi National Oil Company (ADNOC) adalah untuk pengembangan produk petrokimia. Kerja sama tersebut bernilai total 11,7 miliar dollar AS atau setara Rp 160,3 triliun.
"Pertamina juga menandatangani perjanjian jual beli elpiji dengan ADNOC. Nilai perjanjian itu berkisar 90 juta dollar AS sampai 270 juta dollar AS," kata Agung.
Untuk memenuhi kebutuhan elpiji di dalam negeri, Indonesia masih mengandalkan impor. Dari sekitar 7 juta ton elpiji per tahun yang dikonsumsi, separuhnya dipenuhi dari impor. Negara asal impor elpiji selama ini adalah Arab Saudi lewat perusahaan migas mereka, yaitu Saudi Aramco.
Dari sekitar 7 juta ton elpiji per tahun yang dikonsumsi, separuhnya dipenuhi dari impor
Krisis investasi
Sebagai catatan, investasi yang digaet dari UEA tersebut tidak satu pun yang tercatat dalam investasi hulu (up stream) migas Indonesia. Seluruhnya adalah investasi di hilir (down stream) dan pengolahan minyak di kilang (mid stream). Padahal, Indonesia sangat memerlukan investasi di bagian hulu untuk mendongkrak produksi migas dalam negeri yang terus merosot dalam beberapa tahun terakhir.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, investasi sepanjang 2019 sebesar 12,5 miliar dollar AS atau lebih rendah dari target yang sebesar 13,4 miliar dollar AS. Tahun 2018, realisasi investasi hulu migas adalah 12,6 miliar dollar AS. Dalam lima tahun terakhir, investasi tertinggi dibukukan pada 2015 yang sebesar 17,9 miliar dollar AS.
Pengajar pada Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Jakarta, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan, situasi hulu migas di Indonesia sudah bisa dikatakan krisis. Selain produksi yang terus merosot, investasi hulu migas di Indonesia juga berada dalam situasi krisis. Apabila situasi tersebut tak kunjung diperbaiki, kondisi hulu migas Indonesia akan terpuruk semakin dalam.
situasi hulu migas di Indonesia sudah bisa dikatakan krisis
Investasi di hulu berpengaruh langsung terhadap produksi siap jual (lifting) migas di Indonesia dalam jangka panjang. Investasi tersebut, khususnya, adalah investasi untuk penemuan sumber cadangan migas yang baru dan untuk proyek pengembangan lapangan migas yang ada. Investasi di hulu yang rendah itu sejalan dengan angka produksi migas yang statis atau cenderung turun.
Sepanjang 2019, lifting atau produksi siap jual minyak sebanyak 746.000 barel per hari atau di bawah target yang sebanyak 775.000 barel per hari. Adapun realisasi lifting gas bumi pada 2019 hanya 1.060 barel setara minyak per hari atau masih di bawah target yang sebesar 1.250 barel setara minyak per hari. Penurunan lifting minyak terjadi sejak 2016, sedangkan lifting gas bumi terus merosot sejak 2014.
Baca juga : https://kompas.id/baca/utama/2020/01/14/situasi-hulu-migas-makin-krisis-2/
Pemerintah merespons keadaan di hulu migas dengan memberi kelonggaran skema bagi hasil migas. Pemerintah tidak lagi mewajibkan skema bagi hasil berdasarkan produksi bruto (gross split) dalam lelang wilayah kerja migas yang baru. Kontraktor diberi kebebasan memilih, yaitu gross split dan biaya produksi yang dapat dipulihkan (cost recovery). Sebelumnya, untuk wilayah kerja migas yang baru, bagi hasil yang dikenakan pemerintah kepada kontraktor adalah gross split.
"Sudah bisa dua (gross split atau cost recovery), tapi akan dibenahi terlebih dahulu skema cost recovery-nya," ujar Arifin Tasrif.