Pembangunan destinasi wisata perlu waktu serta melibatkan masyarakat dan industri. Di Banyuwangi, pariwisata diyakini menekan kemiskinan.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk meraih dampak optimal dari penetapan destinasi prioritas dan superprioritas, pemerintah lebih aktif bersinergi dengan industri dan masyarakat setempat. Sinergi dapat diwujudkan dalam bentuk pengembangan produk yang menarik wisatawan.
Kendati demikian, mesti disadari, dampak pembangunan industri pariwisata tersebut tidak instan.
Ketua Tim Percepatan Pembangunan Destinasi Pariwisata Prioritas Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Hiramsyah S Thaib, Jumat (10/1/2020), di Jakarta, mencontohkan Nusa Dua, Bali. Pembangunannya memerlukan waktu lebih dari 10 tahun, yang hasilnya baru terlihat dalam beberapa tahun terakhir.
Pemerintah menetapkan 10 destinasi pariwisata prioritas pada 2016. Namun, pada 2019, dari 10 destinasi wisata ”Bali baru” tersebut, pemerintah menetapkan lima tujuan wisata superprioritas. Kelima destinasi yang disebut Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Super Prioritas itu adalah Danau Toba, Borobudur, Mandalika, Labuan Bajo, dan Manado Bitung-Likupang.
Menurut Hiramsyah, penetapan tujuan wisata prioritas tersebut sudah menunjukkan hasil positif, antara lain kenaikan jumlah kunjungan wisatawan Nusantara (wisnus) dan wisatawan mancanegara (wisman). Kenaikan jumlah wisatawan ini mendorong pendapatan asli daerah.
”Sepuluh destinasi prioritas tetap berjalan meskipun pemerintah menetapkan lima destinasi superprioritas. Salah satu alasan penetapan lima destinasi superprioritas adalah dukungan infrastruktur yang lebih masif,” kata Hiramsyah.
Dia menambahkan, secara prinsip, penetapan 10 destinasi prioritas maupun 5 destinasi superprioritas adalah membangun titik kumpul tujuan pariwisata baru yang berdampak terhadap provinsi serta kabupaten/kota di sekitarnya. Misalnya, pembangunan destinasi wisata Candi Borobudur bisa berdampak pada Jawa Tengah dan DI Yogyakarta.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada Januari-November 2019 ada 14,92 juta kunjungan wisman ke Indonesia. Jumlah itu meningkat 3,55 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada 2018.
Disiapkan
Wakil Ketua Umum Bidang Pariwisata Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Kosmian Pudjiadi menceritakan, Pemerintah Thailand dan Taiwan bersinergi dengan pelaku industri skala besar, kecil, dan menengah. Sinergi itu berupa riset makanan dan barang yang disukai wisatawan. Hasil riset digunakan untuk menciptakan produk.
Dia mengibaratkan upaya membangun destinasi pariwisata seperti mal. Selain menentukan lokasi dan sarana infrastruktur, produknya juga harus disiapkan.
”Fokus pembangunan industri pariwisata harus seimbang antara destinasi yang sudah lebih dulu berkembang dengan 10 destinasi prioritas maupun superprioritas,” ujar Kosmian.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas menyebutkan, kendati tidak masuk dalam destinasi wisata prioritas, Banyuwangi tetap menempatkan pariwisata sebagai sektor industri andalan. ”Kami menyiapkan aneka destinasi baru disertai pembangunan infrastruktur pendukungnya. Kemudian, promosinya harus gencar,” kata Azwar Anas.
Menurut dia, tingkat kemiskinan di Banyuwangi dalam enam tahun terakhir turun dari 20,4 menjadi 7,52 persen. Pendapatan per kapita per tahun naik dari Rp 20 juta menjadi Rp 48 juta. Pencapaian tersebut diyakini merupakan hasil pengembangan pariwisata.
Pemerintah daerah Banyuwangi masih konsisten mengembangkan aneka bentuk daya tarik wisata baru sepanjang 2020. Upaya pengembangan produk akan mengoptimalkan peran masyarakat dan pelaku industri setempat. Pemerintah daerah juga akan melakukan pelebaran infrastruktur jalan raya guna mendukung langkah pengembangan produk.
Tim ahli Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Muhammad Baiquni, berpendapat, pemerintah daerah berperan penting dalam pembangunan industri pariwisata. Sementara pemerintah pusat berperan dalam infrastruktur dan promosi. (MED)