Memaksimalkan Penggunaan Dana Kelolaan untuk Pendistribusian Manfaat
Rendahnya klaim jaminan kecelakaan kerja atau jaminan kematian perlu disikapi serius. Ketika klaim rendah, hasil dana yang dikelola bisa dipakai untuk mendistribusikan manfaat yang lebih besar guna kepentingan pekerja.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rendahnya klaim jaminan sosial kecelakaan kerja dan jaminan sosial kematian perlu disikapi secara positif. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan menilai, realitas itu menunjukkan tingginya partisipasi perusahaan untuk menegakkan pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja.
Direktur Kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan E Ilyas Lubis, saat dihubungi Minggu (5/1/2020) sore, di Jakarta, menyampaikan pandangannya tersebut. Menurut dia, BPJS Ketenagakerjaan memiliki peran promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Dari sisi promotif dan preventif, lembaga itu rutin menggelar sosialisasi keselamatan dan kesehatan kerja (K3), seperti keamanan berkendara bagi pekerja. Sementara dari sisi kuratif dan rehabilitatif, BPJS Ketenagakerjaan antara lain mendistribusikan manfaat atas klaim jaminan sosial kecelakaan kerja (JKK) atau jaminan sosial kematian (JKM).
”Ketika klaim kasus JKK atau JKM makin rendah atau berhasil ditekan, hasil dana yang dikelola bisa dipakai untuk mendistribusikan manfaat yang lebih besar untuk kepentingan pekerja juga,” ujar Ilyas.
Terhitung mulai 2 Desember 2019, pemerintah menaikkan manfaat program jaminan ketenagakerjaan lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian.
Sebagai gambaran, sesuai dengan PP No 82/2019, apabila terjadi kecelakaan kerja, penggantian maksimal biaya transportasi darat dinaikkan dari Rp 1 juta menjadi Rp 5 juta, angkutan laut dari Rp 1,5 juta menjadi Rp 2 juta, dan angkutan udara dari Rp 2 juta menjadi Rp 10 juta.
Pemberian Santunan Tidak Mampu Bekerja (STMB) dinaikkan menjadi 100 persen selama 12 bulan terhadap upah, dari sebelumnya hanya 6 bulan. Lalu, biaya gigi tiruan dinaikkan maksimal menjadi Rp 5 juta dari sebelumnya Rp 3 juta.
Santunan kematian dinaikkan dari Rp 24 juta menjadi Rp 42 juta. Penerima beasiswa anak ketika peserta meninggal dunia bertambah menjadi dua orang dan keduanya dibiayai hingga perguruan tinggi.
Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan, selama 2016, jumlah peserta JKK tercatat 22,6 juta pekerja dengan jumlah kasus kecelakaan kerja 101.368 kasus atau 0,44 persen terhadap total peserta. Biaya klaim yang dibayarkan senilai Rp 833,4 miliar. Pada periode yang sama, jumlah peserta JKM tercatat 22,6 juta pekerja, dengan jumlah kasus kematian 21.997 kasus atau 0,097 persen terhadap total peserta. Biaya klaimnya senilai Rp 597,11 miliar.
Sepanjang 2017, jumlah peserta JKK mencapai 26,3 juta pekerja dengan jumlah kasus kecelakaan kerja 123.041 kasus atau 0,46 persen terhadap total peserta. Biaya klaim yang dibayarkan Rp 971,62 miliar. Pada periode yang sama, jumlah peserta JKM tercatat 26,3 juta pekerja dengan jumlah kasus kematian 22.232 kasus atau 0,084 persen terhadap total peserta. Biaya klaim sebesar Rp 614,93 miliar.
Kemudian, pada 2018, jumlah peserta JKK tercatat 30,4 juta pekerja dengan jumlah kasus kecelakaan kerja 173.415 atau 0,56 persen terhadap total peserta. Nilai biaya klaim yang dibayarkan Rp 1,22 triliun. Pada kurun waktu yang sama, jumlah peserta JKM sebanyak 30,4 juta pekerja, dengan jumlah kasus kematian sebanyak 25.883 atau 0,084 persen terhadap total peserta. Biaya klaim yang dibayarkan mencapai Rp 710,04 miliar.
Deputi Direktur Hubungan Masyarakat dan Antarlembaga BPJS Ketenagakerjaan Irvansyah Utoh Banja menyatakan, JKK dan JKM merupakan program jaminan sosial ketenagakerjaan yang sudah dilaksanakan sejak 1977 yang saat itu masih dikelola Perum Astek.
Dengan usia program tersebut, jumlah pesertanya terus berkembang sehingga total terdaftar mencapai 53 juta. Jumlah dana yang terkumpul dari iuran ditambah dengan strategi pengelolaan investasi yang optimal berdampak pada ketahanan dana program dalam posisi ”sehat” walau setiap tahun jumlah kasus atau klaim mengalami peningkatan hingga 20 persen.
”Sesuai dengan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional dan BPJS, pengelolaan BPJS menganut prinsip nirlaba. Artinya, seluruh dana peserta yang terkumpul harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta. Kami bersama pemerintah menggunakan seoptimal mungkin dana kelolaan JKK dan JKM dengan cara menaikkan manfaat, tanpa ada beban kenaikan iuran,” ujarnya.
Dana kelolaan program jaminan kematian per 30 September 2019 mencapai Rp 12,32 triliun dengan hasil investasi Rp 762,83 miliar. Sementara dana kelolaan program jaminan kecelakaan kerja per 30 September 2019 tercatat Rp 33,85 triliun dengan hasil investasi Rp 2,03 triliun.
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, saat dihubungi Senin (6/1/2020), di Jakarta, memandang perlunya PP No 82/2019 disosialisasikan secara masif kepada seluruh pekerja, mulai formal, informal, hingga aparatur sipil negara (ASN). Adanya PP No 82/2019 membuat manfaat JKK dan JKM yang diterima oleh pekerja swasta menjadi setara dengan yang diterima ASN dari Taspen. ”Tidak boleh ada perlakuan berbeda,” ujarnya.
Menurut dia, dana kelolaan JKK ataupun JKM berpotensi membesar seiring dengan rendahnya kasus. Oleh karena itu, dia menyarankan agar ada strategi baru pendistribusian manfaat, termasuk manfaat layanan tambahan JKK yang berupa pelatihan kerja. Manfaat layanan tambahan ini telah berjalan sejak tahun lalu.
Misalnya, apabila pada 2019 jumlah pekerja korban pemutusan hubungan kerja yang jadi peserta pelatihan kerja sebanyak 20.000 orang, maka kuotanya disarankan naik menjadi 50.000 orang.
”Penciptaan kreatif manfaat layanan tambahan juga perlu diterapkan untuk JKM. Sebagai contoh, pelatihan usaha bagi anggota keluarga pekerja yang ditinggalkan. Hal ini sesuai dengan prinsip kesembilan Sistem Jaminan Sosial Nasional, yaitu hasil investasi dikembalikan untuk pengembangan program dan kesejahteraan peserta dan keluarganya,” kata Timboel.