Alokasi anggaran pembiayaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah pada 2020 dinilai masih lebih kecil dari permintaan. Pengembang berharap pemerintah menciptakan formula pembiayaan baru agar dana lebih optimal.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Alokasi anggaran pembiayaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah di tahun 2020 dinilai masih lebih kecil dari permintaan. Pengembang berharap pemerintah menciptakan formula pembiayaan baru agar dana yang tersedia dapat membiayai lebih banyak unit rumah.
Untuk 2020, dana yang tersedia untuk fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) sebesar Rp 11 triliun yang diperkirakan dapat membiayai 102.500 unit rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Dana sebesar itu sudah termasuk pengembalian pokok sebesar Rp 2 triliun.
Akan tetapi, sekitar Rp 1,2 triliun dari Rp 11 triliun tersebut akan digunakan untuk talangan FLPP yang disalurkan Bank Tabungan Negara di akhir 2019. Hingga 23 Desember, talangan FLPP telah disalurkan sebesar Rp 1,2 triliun untuk 11.745 unit.
Ketua Umum Persatuan Perusahaan Real Estat Indonesia (REI) Totok Lusida, Senin (30/12/2019), di Jakarta, mengatakan, pengembang memahami dana pemerintah terbatas. Sementara skema FLPP menjadi andalan karena dana tersebut tidak akan habis karena merupakan dana bergulir.
“Namun demikian kami memperkirakan anggaran tersebut akan habis terserap sampai akhir April 2020. Jadi kami melihat, kalau anggaran pemerintah sebesar itu, belanjanya hanya itu. Kalau kurang ya tidak tahu,” kata Totok.
Menurut Totok, dengan adanya talangan di akhir 2019, maka dana yang tersedia di 2020 hanya sekitar Rp 9 triliun. Dana tersebut diperkirakan hanya dapat membiayai sekitar 88.000 unit rumah karena pada 2020 berlaku harga rumah yang baru.
Sebagai contoh, hatasan harga rumah subsidi pada 2020 di Jawa (kecuali Jabodetabek) dan Sumatera (kecuali Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kepulauan Mentawai) adalah Rp 150,5 juta unit. Sementara harga rumah subsidi untuk wilayah Jabodetabek adalah Rp 168 juta per unit.
Sebenarnya, kata Totok, pihaknya telah mengusulkan agar pemerintah menciptakan formulasi pembiayaan baru yang lebih fleksibel dan sesuai kemampuan keuangan debitur. Misalnya, mempersingkat jangka waktu pemberian bunga tetap 5 persen dari maksimal 20 tahun menjadi 10 tahun untuk kredit pemilikan rumah subsidi.
Formulasi lainnya adalah bagi debitur dengan kemampuan keuangan yang lebih baik, bunga kredit pemilikan rumah yang diberikan bisa jadi bukan 5 persen melainkan 7 persen. Formulasi semacam itu didasarkan pada asumsi bahwa kemampuan keuangan masyarakat akan meningkat di masa mendatang. Dengan demikian, dana yang terbatas tersebut dapat digunakan untuk membiayai lebih banyak unit rumah.
“Kita memahami dana terbatas dan situasi ekonomi belum kondusif, maka sekarang bagaimana kita bisa memenuhi permintaan. Kami sudah mengusulkan hal itu ke pemerintah, namun sampai sekarang belum ada jawaban,” ujar Totok.
Hal senada dikatakan Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Daniel Djumali. Menurut Daniel, dibanding membiayai rumah dengan skema subsidi selisih bunga (SSB), pemerintah lebih memilih FLPP karena dana tersebut tidak akan habis disalurkan karena merupaka dana bergulir.
“Dana tersebut tidak hilang dan kembali lagi ke pemerintah sehingga setelah 10 tahun pemerintah tidak perlu menyediakan dana lagi,” kata Daniel.
Namun demikian, kata Daniel, ketika tahun depan pemerintah menghapus skema SSB, maka mestinya anggaran untuk FLPP ditambah. Sebab, selama ini penyerapan SSB selalu lebih besar dari FLPP. Pada 2016, penyerapan SSB adalah 111.585 unit, pada 2017 sebanyak 231.324 unit, pada 2018 sebanyak 202.787 unit, dan pada 2019 sebanyak 99.907 unit.
Jika menggabungkan rencana anggaran baik untuk skema FLPP, Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT), dan dari Badan Pengelola (BP) Tapera, jumlah unit rumah yang dapat dibiayai sekitar 150.000 unit. Sementara, permintaan diperkirakan akan mencapai setidaknya untuk 260.000 unit.
“Ini yang harus dicari jalan keluar nya, terutama oleh pemerintah. Ada konsumen dari masyarakat berpenghasilan rendah yang sangat membutuhkan rumah terpaksa batal akad KPR karena kekurangan kuota akad KPR rumah subsidi,” ujar Daniel.