Nelayan bisa memiliki posisi tawar lebih baik dalam memasarkan tuna tangkapan mereka. Posisi tawar lebih baik itu bisa diperoleh melalui sertifikasi perikanan berkelanjutan.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sertifikasi internasional perikanan berkelanjutan mendongkrak harga jual tuna Indonesia di pasar global. Para pelaku usaha perikanan yang tergabung dalam Asosiasi Perikanan Pole & Line dan Hand Line Indonesia membidik sertifikat dari Marine Stewardship Council pada Agustus 2020.
Sertifikasi Marine Stewardship Council (MSC) menjamin rantai produk mudah ditelusuri, mulai dari nelayan, jenis kapal, daerah tangkapan, jenis ikan, pedagang, usaha pengolahan ikan, hingga ritel. Sertifikasi ekolabel itu juga mensyaratkan pendataan yang akurat. Dengan sertifikasi, pelaku usaha perikanan memiliki posisi tawar lebih baik dalam memasarkan produk di tingkat global.
Ketua Asosiasi Perikanan Pole & Line dan Hand Line Indonesia (AP2HI) Janti Djuari mengemukakan, proses sertifikasi MSC bagi nelayan yang menangkap tuna satu per satu dengan pancing ulur (hand line) dan huhate (pole and line) sudah berjalan lima tahun untuk delapan wilayah. Tahap pertama sertifikasi akan diberlakukan untuk empat wilayah, yakni Halmahera Utara, Maluku Utara, Banda, serta bagian barat Maumere dan Larantuka (Nusa Tenggara Timur).
Proses sertifikasi MSC ditempuh melalui kemitraan AP2HI dengan organisasi International Pole & Line Foundation (IPNLF). Sertifikasi MSC akan diberikan kepada kapal nelayan yang terdaftar dan industri yang mengajukan label sertifikasi kepada AP2HI.
”Proses sertifikasi sudah sampai tahap asesmen penuh. Kami berharap, sertifikat akan terbit pada Agustus 2020. Produk berlabel MSC bernilai jual lebih tinggi sehingga diharapkan berimbas ke nelayan,” kata Janti di Jakarta, Jumat (27/12/2019).
Saat ini, satu perusahaan Indonesia mendapat sertifikat MSC, yakni PT Citra Raja Ampat Canning di Sorong, Papua Barat.
Produk hasil tuna tangkapan satu per satu yang bersertifikasi MSC bernilai jual 10-30 persen lebih tinggi daripada hasil tangkapan masif dengan alat tangkap pukat cincin (purse seine). Hingga kini, baru beberapa negara yang secara nasional menerapkan model penangkapan tuna satu per satu, yakni Maladewa, Indonesia, dan St Helena dari wilayah persemakmuran Inggris.
Janti menambahkan, harga tuna berkisar 900 dollar AS per ton. Jika produk tuna berlabel MSC, harga produk premium naik hingga 300 dollar AS per ton.
Berdasarkan data the State of World Fisheries and Aquaculture (SOFIA), Indonesia berkontribusi sekitar 16 persen terhadap produksi perikanan tuna, tongkol, dan cakalang dunia serta 20 persen terhadap perikanan nasional.
Upaya sertifikasi MSC juga ditempuh Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI). Menurut Direktur Eksekutif MDPI Saut Tampubolon, pihaknya menargetkan 147 kapal tuna menghasilkan produk berlabel MSC sehingga dapat dipasarkan ke seluruh dunia dengan harga lebih tinggi.
Selain MSC, upaya meningkatkan daya saing produk tuna Indonesia juga ditempuh melalui sertifikasi Fair Trade (FT) dari Amerika Serikat. Sertifikat FT untuk pancing ulur diperoleh PT Harta Samudera di Ambon, Maluku.
MDPI telah menginisiasi sertifikasi FT dengan membina nelayan pancing ulur mitra PT Harta Samudera. Nelayan binaan itu tersebar, antara lain, di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Utara.
Saut menambahkan, pihaknya menargetkan produk tuna yang mendapat sertifikat FT meningkat dari 1.349 ton pada 2018 menjadi 5.000 ton pada 2020. Begitu juga nelayan binaan yang memenuhi kriteria diharapkan bertambah dari 859 orang menjadi 1.500 orang pada 2021.
Menurut Direktur Jenderal Perikanan Tangkap M Zulficar Mochtar, pengelolaan perikanan terkait erat dengan ketersediaan data. Tanpa data, tidak ada pengelolaan. Sebaliknya, data yang tidak tepat akan menghasilkan ketidakpastian pengelolaan.