Usaha mikro, kecil, dan menengah diajak untuk naik kelas menjadi usaha berskala lebih besar. Namun, belum banyak pelaku UMKM yang menjadikan naik kelas itu sebagai prioritas.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengarusutamaan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah masuk menjadi bagian kebijakan strategis nasional. Pengarusutamaan ini harus dinilai sebagai upaya mendorong mereka naik kelas.
”Bukan terus-menerus memelihara mereka tetap berstatus pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM),” ujar Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop dan UKM) Teten Masduki seusai pelantikan Leonard Theosabrata sebagai Direktur Utama Lembaga Layanan Pemasaran Koperasi dan UKM (Smesco Indonesia), Kamis (26/12/2019), di Jakarta.
Peran tersebut secara khusus bukan hanya diamanatkan Presiden Joko Widodo kepada Kemenkop dan UKM, tetapi juga kepada Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Pertumbuhan perekonomian global diperkirakan melambat. UMKM merupakan salah satu andalan dalam menghadapi pelambatan pertumbuhan perekonomian. Agar naik kelas, UMKM bisa ikut serta mengelola potensi komoditas nasional, misalnya komoditas perikanan dan pertanian.
Pemerintah menargetkan nilai ekspor produk UKM yang saat ini hanya 14,5 persen meningkat menjadi 30 persen pada 2024.
”Potensi kekuatan UMKM Indonesia bukan hanya sekadar angkat kontribusi terhadap produk domestik bruto sebesar 60,23 persen dan bukan hanya sekadar jumlah pelakunya lebih dari 64 juta. Angka-angka tersebut harus diiringi dengan perencanaan skema usaha berkelanjutan hingga rantai pasok,” ujar Teten.
Keberadaan Smesco Indonesia diharapkan sejalan dengan kebijakan strategis itu. Oleh karena itu, lanjut Teten, Smesco Indonesia perlu diperkuat sebagai tempat riset hingga pemetaan kebutuhan pasar. Fungsi komersial juga dimaksimalkan, seperti program link and match pembeli produk lokal dan global.
Direktur Utama Lembaga Layanan Pemasaran Koperasi dan UKM (Smesco Indonesia) Leonard Theosabrata mengatakan, sudah sekitar satu dekade lebih ia berkecimpung dan mendedikasikan diri untuk tumbuh kembang UMKM. Kegiatan Furnicraft, misalnya, yang kini menjadi Indonesia Furniture Expo (Ifex), sebagai pameran perdagangan untuk produk perabot dan kriya internasional. Ada pula Indoestri Makerspace, pelatihan keterampilan usaha bagi ribuan peserta. Di Indoestri Makerspace, peserta diajari menciptakan karya sekaligus usaha, tetapi tanpa peralatan mesin.
Dia menerima permintaan Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki untuk menjadi Dirut Smesco Indonesia karena ingin berkontribusi lebih banyak kepada perkembangan UMKM. Langkah pertama yang akan dia lakukan adalah membenahi pengelolaan Smesco Indonesia, baik secara fisik maupun nonfisik.
”Membuat Smesco Indonesia lebih bergairah. Harus mencetak profit. Saat ini laporan (keuangan) masih merah,” ujar Leonard.
Visi dia adalah menjadikan Smesco Indonesia sebagai tempat mempersiapkan generasi UKM masa depan menghadapi Revolusi Industri 4.0 dan melampaui itu. Sebagai misi, Smesco Indonesia harus bisa menciptakan standar baru dalam proses penciptaan produk dan karya inovatif khas Indonesia. Kekayaan sumber daya alam Indonesia dioptimalkan. Sasaran utama adalah pelaku usaha menengah karena jika berhasil naik kelas, mereka akan berdampak ke usaha kecil ataupun mikro.
Untuk merealisasikan visi-misi itu, Smesco Indonesia akan dikemas menjadi pusat edukasi dan pusat perdagangan. Sebagai pusat edukasi, Smesco Indonesia akan lebih banyak bergerak ke riset, sedangkan sebagai pusat perdagangan berarti akan tetap mewadahi produk UKM di semua provinsi. Keberadaan Smesco Indonesia seperti itu diusahakan agar tidak tumpang tindih dengan PT Sarinah (Persero), yang nantinya akan lebih banyak berperan ke ritel.
”Pertimbangan-pertimbangan yang harus dicermati adalah masa depan pangan lokal, mobilitas masyarakat, kriya berkelanjutan, tempat tinggal, cara bekerja, dan mode sederhana,” lanjutnya.
Pola pikir
Pendiri Pusat UKM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Nining I Soesilo, berpendapat, pengarusutamaan UMKM tidak mudah. Salah satu tantangan utamanya adalah pola pikir. Dia beberapa kali menyurvei ratusan hingga ribuan UMKM, antara lain berlokasi di Provinsi Bangka Belitung, binaan program pembiayaan ultra mikro, dan lembaga pengelolaan dana bergulir. Hasilnya, mayoritas UMKM yang disurvei tidak menjadikan naik kelas sebagai prioritas di urutan teratas.
”Prioritas di urutan teratas adalah bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Semakin naik skala usaha, prioritas naik kelas turut meningkat ke urutan lebih tinggi. Selama saya survei, masih ada UMKM menaruh naik kelas sebagai prioritas kedelapan, 12, atau 20,” ujarnya.
Tantangan berikutnya adalah ketersediaan bahan baku produksi. Sejumlah UMKM yang Nining teliti pernah kekurangan stok sehingga tidak bisa melanjutkan produksi, padahal ide bisnisnya keren.
Tantangan lain yang tidak boleh diabaikan adalah kesenjangan kelas. Hal ini terutama terjadi ketika pelaku usaha mau naik kelas dari fase kecil ke menengah. Ketika produk mereka sudah sanggup memenuhi permintaan beberapa gerai ritel modern nasional, mereka tetap sukar naik ke kelas menengah.
”Pengarusutamaan UMKM itu penting. Penekanan kegiatannya sekarang adalah membina jika mau mendorong mereka naik kelas. Pembinaan mencakup mulai dari rantai pasok bahan hingga kultur,” kata Nining.
Ketua Pusat Inkubator Bisnis Universitas Padjadjaran Diana Sari memandang, permasalahan tumbuh kembang UMKM di Indonesia adalah ekosistem yang belum terbentuk. Suatu desa telah mengetahui potensi produk, misalnya, tetapi tidak punya akses pasar. Hal sebaliknya bisa terjadi. Oleh karena itu, menurut dia, diperlukan pemetaan potensi produk sampai pasar.