
Diskursus publik terkait pro-kontra ekspor benih lobster beberapa waktu terakhir memunculkan dorongan untuk mengembangkan budidaya lobster di Tanah Air. Budidaya lobster diyakini mampu meningkatkan nilai tambah, ketimbang melegalkan ekspor dalam bentuk benih.
Polemik ekspor benih lobster mencuat pasca-rencana Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo -untuk membuka kembali keran ekspor-, mengemuka. Tak hanya masyarakat melalui media sosial, pandangan sejumlah pejabat tinggi negara, pelaku usaha, wakil rakyat dan praktisi terbelah. Ada yang setuju ekspor, namun ada juga yang menolak dan mendorong budidaya lobster.
Gugusan kepulauan Indonesia merupakan โsurgaโ untuk pemijahan lobster. Namun, sekian lama budidaya lobster di Nusantara terabaikan. Empat tahun terakhir, riset, inovasi dan budidaya lobster nyaris terhenti akibat regulasi.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/2016 tentang Larangan Penangkapan dan Pengeluaran Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) dari Wilayah Negara RI yang diterbitkan Menteri Kelautan dan Perikanan 2014-2019 Susi Pudjiastuti melarang penangkapan benih lobster. Larangan itu berlaku baik untuk tujuan ekspor maupun budidaya.
Sejak aturan itu digulirkan, penyelundupan benih lobster kian marak. Sebaliknya, budidaya semakin tertinggal. Kini, aturan dalam proses revisi dengan opsi ekspor benih atau budidaya.
Pertanyaan yang muncul, sejauh mana kesiapan Indonesia untuk budidaya lobster?
Kementerian Kelautan dan Perikanan merilis, daerah yang memiliki potensi benih lobster antara lain di perairan selatan dan perairan barat Indonesia. Namun, benih lobster di alam dinilai memiliki tingkat hidup (SR) di bawah 1 persen, antara lain akibat sifat kanibalisme dan banyaknya predator di alam.
Sebaliknya, jika dibudidayakan dengan teknologi yang tepat, tingkat hidup benih lobster hingga ukuran dewasa ditaksir bisa mencapai 70-80 persen.
Mengutip Bayu Priyambodo, peneliti budidaya lobster KKP, budidaya lobster merupakan budidaya prestise atau gengsi.

Tujuan konsumsi lobster bukan sekadar memenuhi kebutuhan protein. Sensasi hidangan lobster terasa berbeda dibandingkan dengan ikan lain yang juga mahal, seperti napoleon. Santapan pun kerap didului aksi swafoto.
Di tengah tren permintaan dunia yang terus meningkat melebihi pasokan, budidaya lobster merupakan solusi. Namun, upaya membangkitkan budidaya lobster tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Di dunia, selama ini budidaya lobster baru sebatas pembesaran benih. Benih hasil tangkapan alam dibesarkan hingga mencapai ukuran konsumsi. Setidaknya, dibutuhkan waktu 8-12 bulan untuk menghasilkan lobster berukuran 800 gram hingga 1 kilogram (kg), dengan harga jual Rp 1,4 juta per kg. Vietnam lebih dulu unggul menjadi eksportir lobster dunia.
Pemerintah mengaku mulai menyiapkan kawasan percontohan budidaya lobster, jika aturan direvisi dan opsi budidaya yang diambil. Kawasan percontohan dipilih di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Namun, masih belum diketahui jumlah riil stok benih dan persentase maksimum benih di alam yang boleh diambil untuk menjaga sumber daya lestari.
Pekerjaan rumah yang juga perlu dituntaskan adalah teknologi budidaya yang efisien, sistem logistik benih, serta memastikan nelayan benih lobster memperoleh harga yang layak dan akses pasar. Izin pengambilan benih lobster yang terbuka diharapkan tidak justru melegalkan ekspor benih besar-besaran.
Di sisi lain, budidaya lobster menghadapi tantangan hasil budidaya yang tidak sebagus hasil tangkapan alam, baik dari segi warna maupun tingkat nutrisi. Selain itu, rentan ancaman penyakit dan kebutuhan pakan yang spesifik. Berbagai tantangan itu perlu diantisipasi jika serius ingin menggarap budidaya.
Penguatan budidaya lobster tentunya menuntut keberpihakan pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan untuk menjadikan komoditas prestise ini bisa berjaya di negeri sendiri. (BM Lukita Grahadyarini)