Pengambilalihan Pengelolaan Belum Rampung Dibicarakan
Hingga menjelang pergantian tahun, Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta atau PAM Jaya belum rampung membicarakan realisasi pengambilalihan pengelolaan air dari dua mitra swastanya.
Oleh
J Galuh Bimantara
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS —Hingga menjelang pergantian tahun, Perusahaan Daerah Air Minum DKI Jakarta atau PAM Jaya belum rampung membicarakan realisasi pengambilalihan pengelolaan air dari dua mitra swastanya. Penghentian konsesi pengelolaan air minum bagi swasta menjadi salah satu langkah strategis Pemerintah Provinsi DKI untuk mempercepat pencapaian target melayani 82 persen kebutuhan air minum perpipaan warga Jakarta tahun 2023.
Sejauh ini, PAM Jaya baru menandatangani kesepakatan awal (head of agreement/HoA) dengan pemegang hak eksklusif pengelolaan air di DKI wilayah timur, PT Aetra Air Jakarta (Aetra). Adapun HoA dengan mitra swasta pengelola layanan air di barat, PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja), belum kunjung tercapai. Padahal, HoA dengan keduanya awalnya ditargetkan rampung Maret silam.
”Untuk mitra satunya lagi (Palyja), kami ada high level discussion guna mengajak mereka untuk percepatan (perluasan) akses air bersih,” ucap Direktur Utama PAM Jaya Priyatno Bambang Hernowo, Senin (16/12/2019), di Jakarta. Adapun dengan Aetra, PAM Jaya bersama perusahaan ini masih dalam tahap merinci HoA sehingga ia yakin dalam waktu tidak lama lagi bakal ada titik-titik perubahan skema kerja sama.
Sebelumnya, Palyja menyampaikan menunggu kesepakatan yang pasti dengan PAM Jaya sebelum menentukan langkah selanjutnya, termasuk soal investasi. Presiden Direktur Palyja Robert Rerimassie mencontohkan, sekitar 1.200 kilometer pipa dari total 5.600-an kilometer pipa yang dikelola perusahaan ini mesti diganti dengan perkiraan investasi untuk pengadaannya Rp 2,2 triliun. ”Kami tidak mungkin melakukan investasi sebelum kami punya perjanjian,” ucapnya (Kompas.id, 27/4/2019).
Hernowo mengatakan, perubahan skema kerja sama bertujuan membuat PAM Jaya memegang kendali pengembangan, pengoperasian, dan pemeliharaan sistem penyediaan air minum (SPAM) sepenuhnya. Saat ini, berdasarkan perjanjian kerja sama dengan Aetra dan Palyja, PAM Jaya hanya punya fungsi supervisi SPAM, sedangkan pengelolaan sepenuhnya hak kedua mitra swasta.
Keterbatasan wewenang ini menjadi ganjalan bagi Pemprov untuk meningkatkan cakupan akses layanan air bersih di Jakarta. Hingga 2008, PAM Jaya baru bisa memenuhi 60 persen kebutuhan air minum perpipaan untuk warga Jakarta. Selisihnya dengan target 2023 berarti 22 persen mulai 2019 sehingga setiap tahun cakupan mesti bertambah rata-rata 5,5 persen.
Sayangnya, kondisi sekarang, kenaikan cakupan layanan rata-rata hanya 2 persen per tahun. Saat pertama kali menyatakan Pemprov memutuskan mengambil alih pengelolaan air minum pada 11 Februari 2019, Gubernur DKI Anies Baswedan menyebutkan, dengan jangka waktu yang tinggal sebentar lagi, hampir mustahil pihak swasta akan melakukan investasi untuk meningkatkan cakupan layanan.
Meski demikian, Hernowo menekankan, kewenangan mengelola yang diterima PAM Jaya nanti bukan berarti menutup peluang kerja sama dengan swasta. Ia menggambarkan, skemanya seperti kerja sama PT PLN (Persero) dengan perusahaan-perusahaan penyedia tenaga listrik yang disebut independent power producer (IPP). Perusahaan swasta bisa menjadi IPP untuk mengoperasikan pembangkit listrik, tetapi hanya boleh menjual energi listrik pada PLN yang berwenang menyalurkan pada penduduk dan industri.
Soal proses kesepakatan dengan mitra swasta, lanjut Hernowo, pihaknya meminta bantuan hukum nonlitigasi Kejaksaan Tinggi DKI untuk mengawal sehingga terhindarkan dari masalah hukum. Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sempat mengingatkan bahwa salah satu klausul perjanjian dalam HoA dengan Aetra, yakni pemberian eksklusivitas kepada Aetra untuk mengelola air baku menjadi air bersih di DKI, berpotensi menimbulkan masalah hukum.
Selain itu, PAM Jaya juga menggandeng Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk membantu memastikan perhitungan-perhitungan dalam perubahan skema kerja sama sesuai.
Pengacara publik yang mengadvokasi penghentian swastanisasi air, Nurkholis Hidayat, meminta Pemprov DKI memastikan keluhan-keluhan yang datang dari para pelanggan tetap ditangani Palyja dan Aetra selama memproses pengambilalihan pengelolaan air. Salah satunya, keluhan air tidak mengalir. ”Setiap bulan, mereka membayar abonemen dan sebagainya, tetapi tidak mendapatkan airnya,” ujarnya.