Jokowi Menagih Janji
Di tengah kinerja ekspor yang melempem, serta krisis WTO dan perdagangan dunia, Presiden Joko Widodo menagih janji. Segera laksanakan transformasi ekonomi untuk memperbaiki defisit neraca dagang dan transaksi berjalan.
Kinerja perdagangan luar negeri Indonesia benar-benar tertekan dua tahun terakhir ini. Pada 2018, neraca perdagangan defisit 8,7 miliar dollar Amerika Serikat. Pada periode Januari-November 2019, neraca perdagangan juga defisit 3,11 miliar dollar AS atau Rp 43,4 triliun.
Kendati tak sebesar 2018, defisit itu berpotensi melebarkan defisit transaksi berjalan Indonesia pada akhir tahun nanti. Pada triwulan III-2019, defisit transaksi berjalan Indonesia 7,7 miliar dollar AS atau 2,7 persen dari produk domestik bruto (PDB). Pemerintah Indonesia menargetkan pada akhir tahun ini defisit transaksi berjalan 2,5 persen PDB.
Dua faktor utama yang menyebabkan kinerja perdagangan Indonesia tumbuh lambat adalah perlambatan ekonomi global dan belum optimalnya transformasi ekonomi di bidang industri.
Perlambatan ekonomi global itu terjadi karena proteksi perdagangan sejumlah negara untuk menyeimbangkan neraca perdagangan, penurunan harga komoditas, dan penurunan pertumbuhan ekonomi sejumlah negara.
Proteksi perdagangan yang semula terjadi antara AS belakangan ini juga dilakukan beberapa negara lain. Tidak mengherankan jika Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dalam laporan ”Hambatan Perdagangan” yang dirilis pada 12 Desember 2019 menyebutkan, nilai perdagangan negara-negara anggota WTO yang terdampak penerapan kebijakan hambatan impor melonjak.
Pada periode Oktober 2018-Oktober 2019, nilai perdagangan yang terdampak kebijakan hambatan impor sebesar 747 miliar dollar AS. Jumlah itu meningkat dari Oktober 2017-Oktober 2018 yang senilai 588 miliar dollar AS. Laporan tersebut juga menunjukkan ada 102 kebijakan pembatasan perdagangan baru diberlakukan oleh anggota-anggota WTO.
Baca juga: Perdagangan Dunia Memanas, Indonesia Kuatkan Pengamanan
Kebijakan-kebijakan itu, antara lain, kenaikan tarif, pembatasan kuantitatif, prosedur bea cukai yang lebih ketat, dan pengenaan pajak impor. Sektor utama yang ditargetkan oleh pembatasan impor baru adalah mineral dan bahan bakar minyak (17,7 persen), mesin dan peralatan mekanis (13 persen), mesin listrik dan bagiannya (11,7 persen), serta logam mulia (6 persen).
Kebijakan-kebijakan pembatasan impor itu memengaruhi 7,5 persen nilai impor dunia. Pada akhir 2018, nilai impor dunia yang terpengaruh kebijakan itu sebesar 1,5 triliun dollar AS dari total 19,5 triliun dollar AS impor dunia. Pada pertengahan Oktober 2019, dampaknya ke impor dunia diperkirakan meningkat menjadi 1,7 triliun dolar AS.
Kebijakan-kebijakan pembatasan impor itu memengaruhi 7,5 persen nilai impor dunia.
Hal itulah yang membuat WTO menurunkan proyeksi pertumbuhan perdagangan dunia pada 2019 menjadi 1,2 persen dan 2020 menjadi 2,7 persen. Ini merupakan koreksi atas proyeksi WTO atas pertumbuhan perdagangan dunia pada April 2019 yang pada 2019 dan 2020 masing-masing diperkirakan sebesar 2,6 persen dan 3 persen.
Banyak negara, termasuk negara-negara anggota WTO, yang menyangsikan WTO mampu mengatasi hambatan-hambatan perdagangan itu. Sebab, selama ini WTO tidak mampu merampungkan bahkan menengahi perang dagang AS-China yang menyebabkan perlambatan pertumbuhan perdagangan global.
Apalagi saat ini WTO dinilai tengah mengalami krisis, terutama karena Pengadilan Banding WTO tengah lumpuh. Dari minimal tiga hakim Pengadilan Banding WTO, kini tinggal tersisa satu hakim. Kasus aduan ke WTO tidak boleh ditangani oleh satu hakim. Sejak akhir tahun lalu, sejumlah negara telah menyerukan reformasi WTO (Kompas.id, 16/12/2019).
Baca juga : Organisasi Perdagangan Dunia Tengah Lumpuh
Di sisi lain, negara-negara yang tergabung dalam satu kawasan tengah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca yang menjadi penyebab utama pemanasan global. Salah satunya adalah Uni Eropa (UE) yang akan menerapkan kebijakan Arahan Energi Terbarukan (RED) II mulai 2020 hingga 2030.
Dalam Delegated Regulation atau aturan pelaksana RED II UE, minyak kelapa sawit masuk dalam kategori komoditas yang memiliki risiko tinggi terhadap alih fungi lahan secara tidak langsung (ILUC). Akibatnya, bahan bakar nabati berbahan baku minyak kelapa sawit tidak termasuk dalam target energi terbarukan UE.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai ekspor minyak kelapa sawit dan bahan bakar nabati/fatty acid methyl ester (FAME) Indonesia ke UE turun. Nilai ekspor FAME pada Januari-September 2019 sebesar 882 juta dollar AS, turun dari periode sama 2018 yang sebesar 934 juta dollar AS.
Daya saing
Sementara di dalam negeri, masalah klasik yang tidak kunjung terselesaikan adalah merombak struktur ekspor dan impor. Dari sisi ekspor, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah mengubah ekspor komoditas mentah menjadi produk bernilai tambah tinggi.
Dari sisi impor, substitusi bahan baku impor dengan bahan baku domestik dan mengoptimalkan bahan baku/penolong impor menjadi produk yang diekspor juga masih jauh dari optimal.
Dalam ”Dialog Kerja Sama Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP): Mampukah Indonesia Memanfaatkan RCEP?” pada 16 Desember 2019 terungkap, daya saing mayoritas produk ekspor Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini menjadi tantangan bagi Indonesia untuk menembus pasar negara-negara anggota RCEP.
Ada 16 negara yang memprakarsai pembahasan RCEP, yaitu 10 negara anggota ASEAN serta China, Jepang, Korea Selatan, India, Australia, dan Selandia Baru. Namun, pada saat deklarasi bersama RCEP dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-3 RCEP di Bangkok, Thailand, hanya India yang tidak turut mengunci 20 bab pokok-pokok pengaturan perjanjian perdagangan barang dan jasa serta investasi itu.
Berdasarkan data ekspor Indonesia ke negara-negara anggota RCEP yang dihimpun Kementerian Perdagangan (Kemendag), produk olahan industri dengan teknologi tingkat rendah mendominasi dengan nilai sekitar 25 juta dollar AS.
Ekspor produk olahan industri dengan teknologi tingkat tinggi-menengah, teknologi tingkat tinggi, serta teknologi informasi dan komunikasi masing-masing 10 juta dollar AS-15 juta dollar AS, 5 juta dollar AS, dan 3 juta-5 juta dollar AS.
Produk olahan industri dengan teknologi tingkat rendah mendominasi dengan nilai sekitar 25 juta dollar AS.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag Iman Pambagyo mengatakan, produk Indonesia yang berdaya saing di pasar RCEP terdiri dari kertas dan produk kertas, produk kimia, karet, produk plastik, dan logam besi. ”Kita perlu meningkatkan kuantitas jenis produk dan kualitasnya untuk menikmati manfaat optimal dari RCEP,” ujarnya dalam forum dialog tersebut.
Tak mengherankan jika Presiden Joko Widodo menyerukan pentingnya segera melaksanakan transformasi ekonomi untuk memperbaiki neraca perdagangan dan mengurangi defisit transaksi berjalan. Presiden meminta hal itu pada saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Menurut Presiden, masalah besar defisit transaksi berjalan yang dihadapi Indonesia bersumber pada neraca perdagangan. Saat ini impor jauh lebih besar daripada ekspor. Impor ini terutama pada produk energi, barang modal, dan bahan baku.
Impor barang modal dan bahan baku dinilai Presiden tak terlalu menjadi masalah karena masih bisa diekspor kembali. Namun, impor minyak dan gas Indonesia semakin tinggi. Saat ini impor minyak sudah mencapai 700-800 barel per hari. Selain itu, masih ada impor gas dan bahan turunan petrokimia.
”Ini bertahun-tahun tidak diselesaikan sehingga membebani dan menyebabkan defisit,” kata Presiden.
Sejak pelantikan sebagai Presiden, kata Jokowi, pembangunan kilang sudah diminta dilakukan. Namun, sampai saat ini tidak satu pun berjalan karena ada yang menghendaki Indonesia terus mengimpor. Presiden meminta Kepala Kepolisian RI, Jaksa Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi ikut memantau pekerjaan besar ini (Kompas.id, 16/12/2019).
Baca juga : Transformasi Ekonomi Mengatasi Defisit Neraca Perdagangan
Akankah kata-kata Presiden akan sekadar menjadi angin lalu atau benar-benar diwujudkan? Tugas besar mereformasi struktur ekspor-impor Indonesia ini menanti realisasi sejumlah kementerian terkait, antara lain, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian BUMN.
Akankah kata-kata Presiden akan sekadar menjadi angin lalu atau benar-benar diwujudkan?
Sementara untuk menghadapi hambatan perdagangan, Indonesia diharapkan tidak sekadar menjadi jago kandang. Indonesia perlu melawan negara-negara atau kawasan dengan jalur dan prosedur yang tepat yang menghambat pertumbuhan ekspor nasional.
Setidaknya dua langkah besar telah dilakukan Indonesia, yakni menggugat kebijakan RED II dan Delegated Regulation UE ke WTO, serta melobi India menurunkan bea masuk impor CPO dan produk turunannya.
Baca juga : Perkuat Negosiasi dan Investasi
Tentu saja masih ada hambatan-hambatan perdagangan dari negara-negara lain yang masih perlu dihadapi. Indonesia masih harus berhadapan dengan UE yang menggugat Indonesia ke WTO terkait larangan ekspor bijih nikel yang mulai berlaku efektif 1 Januari 2020.
Indonesia juga masih harus menghadapi AS yang masih ingin meninjau kembali tarif preferensial umum (GSP) Indonesia. Jika Indonesia kehilangan keistimewaan tarif bea masuk murah atau nol persen dari AS, pengekspor nasional akan terbebani dan daya saing produk Nusantara akan kalah dari negara-negara lain.