Indonesia Siap Ekspor dengan Sertifikasi Perikanan Berkelanjutan
Sertifikasi perikanan berguna untuk mengubah orientasi produk menjadi orientasi nilai. Saat ini, tren pasar di negara-negara maju menuntut perdagangan makanan yang dapat ditelusuri.
Oleh
Erika Kurnia
·3 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Industri perikanan Indonesia tengah berproses menerapkan Marine Stewardship Council atau Sertifikasi Perikanan Berkelanjutan. Upaya itu akan memperluas pasar ekspor perikanan nasional, khususnya ke negara-negara maju.
Asosiasi Perikanan Pole & Line dan Handline Indonesia (AP2HI) serta Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia (MDPI) bersiap menjalankan proses sertifikasi rantai pasok perikanan dengan sertifikat Marine Stewardship Council (MSC) pada tahun 2020.
General Manager AP2HI Abdul Muis Sulaiman, yang ditemui di Kabupaten Badung, Bali, Kamis (12/12/2019), mengatakan, AP2HI sedang memfasilitasi sembilan perusahaan penangkap ikan cakalang untuk mendapatkan MSC pada triwulan ke-3 tahun 2020.
”Sertifikat MSC sudah diakui di dunia, terutama Eropa dan Amerika. Kalau dapat sertifikat MSC, kita bisa dapat lebih (luas pasarnya) karena pasar percaya kita punya ekolabel. Sejauh ini, penjualan cakalang Indonesia masih banyak tergantung pada pasar tradisional di Asia,” katanya di sela lokakarya ”Perikanan Berkelanjutan dalam Mendukung Percepatan Pembangunan Ekonomi Nasional”.
Sertifikasi MSC tidak hanya diberikan pada seluruh rantai pasok produk perikanan, mulai dari hulu ke hilir. Sertifikasi memperhatikan konservasi kelautan dan perikanan, penggunaan alat tangkap yang berkelanjutan, hingga kesejahteraan pelaku usaha perikanan, khususnya nelayan.
Direktur Eksekutif Yayasan MDPI Saut Tampubolon mengatakan tengah mempersiapkan dua industri tuna jenis sirip kuning (yellowfin) untuk mendapat sertifikasi MSC pada 2020. Sebelumnya, mereka telah memfasilitasi enam industri tuna untuk mendapatkan sertifikasi Fair Trade.
”Fair Trade orientasinya keadilan dan sosial ekonomi, tapi kalau MSC orientasinya keberlanjutan sumberdaya ikan,” ujar Saut saat ditemui di lokasi yang sama.
Ia menambahkan, nilai jual ritel produk dengan sertifikasi MSC lebih mahal dibandingkan dengan harga dengan sertifikat Fair Trade. Produk tuna dengan sertifikat Fair Trade akan mendapatkan tambahan harga sebesar Rp 4.500 per kilogram (kg). Sementara nilai tambah produk bersertifikasi MSC lebih tinggi daripada harga tersebut.
Orientasi nilai
Lebih dari itu, Saut mengatakan, sertifikasi perikanan berguna untuk mengubah orientasi produk menjadi orientasi nilai. Saat ini, tren pasar di negara-negara maju menuntut perdagangan makanan yang dapat ditelusuri (traceable).
”Ini sudah jadi tuntutan pasar ekspor. Mau tidak mau, kita harus bisa menghasilkan ikan yang traceable, dari laut sampai ke piring,” ucapnya.
Untuk itu, dua tahun terakhir ini, MDPI memfasilitasi pemasangan kode respons cepat pada label kemasan produk tuna bersertifikat. Kode itu dapat menuntun konsumen pada beragam informasi tuna yang dipasarkan, mulai dari spesies tuna, lokasi ikan ditangkap, alat tangkap yang digunakan, hingga kandungan gizinya.
Kepala Pusat Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Augy Syahaitula mengatakan, permintaan pasar tersebut menjadi tantangan bagi Indonesia ke depan. Hal itu pun perlu didukung dengan beragam penelitian.
”Saat ini, masyarakat kita hanya pikir, yang penting ada ikan di meja makan kita. Tapi, kalau di luar sana, mereka semakin ingin tahu dari mana mereka dapat ikan, bukan cuma beli produk, tapi beli nilai. Itu perlu mendapat dukungan sains, lewat penelitian-penelitian,” tuturnya.
Salah satu keperluan dari sisi penelitian adalah data dan sistem teknologi yang berkualitas dan berkesinambungan.