Selain menjanjikan insentif pajak bagi investor, pemerintah juga mendorong perusahaan-perusahaan petrokimia untuk terus mengembangkan usahanya. Sektor industri ini turut menyumbang defisit perdagangan.
Oleh
Anita Yossihara
·3 menit baca
CILEGON, KOMPAS - Pemerintah berupaya menggenjot industri petrokimia yang merupakan salah satu penyumbang terbesar defisit neraca perdagangan. Selain menjanjikan insentif pajak bagi investor yang menanamkan modalnya untuk industri petrokimia, pemerintah juga mendorong perusahaan-perusahaan petrokimia untuk terus mengembangkan usahanya.
Saat berpidato dalam persemian pabrik polietilena baru milik PT Chandra Asri Petrochemical di Cilegon, Banten, Jumat (6/12/2019), Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa persoalan terbesar yang dihadapi bangsa ini adalah defisit transaksi jalan dan defisit neraca perdagangan. Salah satu penyebab defisit adalah masih banyaknya bahan baku produk dalam negeri yang berasal dari impor, termasuk petrokimia.
Pada tahun 2018, ekspor bahan kimia Indonesia dilaporkan sebesar Rp 124 triliun, sementara impor mencapai Rp 317 triliun. Sehingga total defisit perdagangan petrokimia masih sebesar Rp 193 triliun.
Khusus untuk polietilena yang merupakan bahan baku plastik dan barang-barang rumah tangga, kapasitas produksi Tanah Air baru 780.000 ton. Sementara kebutuhan polietilina mencapai 2,3 juta ton, sehingga 1,52 juta ton kekurangannya dipenuhi dari impor.
Menurut Presiden Jokowi, kekurangan pasokan itu semestinya menjadi peluang bagi perusahaan-perusahaan petrokimia, termasuk Chandra Asri. "Jangan berikan dong peluang-peluang seperti ini ke negara lain. Kalau Kita bisa membuat sendiri, kenapa harus impor?," ujar Presiden Jokowi.
Oleh karena itu, pemerintah berupaya memberikan kemudahan bagi para investor menanamkan modal untuk industri petrokimia. Diantaranya dengan memberikan insentif berupa diskon pajak atau tax allowance dan bebas pajak untuk waktu tertentu atau tax holiday.
"Industri petrokimia ini kan dalam rangka substitusi barang-barang impor, produk-produk impor. Jadi siapapun yang ingin masuk ke dalam penanaman modal yang berkaitan dengan petrochemival akan kami beri yang namanya tax holiday," ujarnya.
Presiden Jokowi mengharapkan akan lebih banyak lagi investor yang menanamkan modal untuk industri petrokimia. Tak hanya itu perusahaan-perusahaan petrokimia yang sudah ada juga diminta untuk terus mengembangkan usahanya, termasuk Chandra Asri yang merupakan pionir industri petrokomia Tanah Air.
Pabrik baru untuk produksi polietilena yang diresmikan Presiden Jokowi dibangun dengan nilai investasi sekitar 380 juta dollar AS atau setara dengan Rp 5,3 triliun. Pabrik tersebut bukanlah yang terakhir yang akan dibangun oleh perusahaan yang didirikan oleh pengusaha Prajogo Pangestu tersebut.
Sebab, menurut Presiden Direktur Chandra Asri, Erwin Ciputra, pihaknya juga sudah menyiapkan pembangunan kompleks pabrik petrokimia tahap II di Ciwandan, Cilegon. Dengan nilai investasi yang disiapkan sebesar Rp 80 triliun, pabrik petrokimia baru tersebut dirancang memiliki kapasitas produksi hingga 8 juta ton per tahun.
Presiden Jokowi pun sempat meminta Chandra Asri untuk mempercepat pembangunan kompleks pabrik pertrokimia tahap II, dari rencana sebelumnya selama empat tahun menjadi dua tahun. Dengan begitu diharapkan impor bahan-bahan petrokimia benar-benar bisa dihentikan. Bahkan jika memungkinkan Indonesia justru mengekspor produk petrokimia ke negara lain.
"Feeling saya mengatakan, empat atau lima tahun lagi kita sudah tidak mengimpor lagi yang namanya bahan-bahan petrokimia dan justru bisa kita ekspor," ujarnya.
Sementara Erwin menjelaskan, pabrik baru diresmikan Presiden Jokowi memiliki kapasitas produksi polietilena sebesar 400.000 ton. Dengan begitu total polietilena yang diproduksi Chandra Asri saat ini sekitar 736.000 ton per tahun. Selain itu pabrik baru itupun akan menyerap tenaga kerja hingga 25.000 orang.