Nexticorn Summit 2019: Batalnya IPO WeWork Jadi Pelajaran
Sebanyak 166 investor dan 104 perusahaan rintisan bidang teknologi dipastikan hadir dalam acara Next Indonesia Unicorn Summit 2019 pada 14-15 November 2019, di Jimbaran Hub, Badung, Bali.
BADUNG, KOMPAS — Perusahaan modal ventura mulai mengalihkan perhatian dari pertumbuhan menuju keuntungan yang harus diperoleh calon perusahaan rintisan bidang teknologi yang akan diberi suntikan pendanaan.
Tren ini berkembang setelah serangkaian perusahaan rintisan teknologi yang melantai di bursa saham merugi, seperti Uber, Lyft, dan Peloton. Ditambah lagi, ada kasus kegagalan WeWork melakukan penawaran umum saham ke publik.
Chairman Yayasan Nexticorn Daniel Tumiwa, Rabu (13/11/2019), di Badung, Bali, mengakui, kasus batalnya WeWork (perusahaan rintisan digital di bidang jasa pengelolaan serta penyewaan ruang kantor) melakukan penawaran umum saham ke publik (IPO) akan memengaruhi hasil pertemuan investor dan perusahaan rintisan selama Nexticorn Summit 2019 berlangsung.
Sebanyak 166 investor dan 104 perusahaan rintisan bidang teknologi dipastikan hadir dalam acara Next Indonesia Unicorn Summit 2019 pada 14-15 November 2019, di Jimbaran Hub, Badung, Bali. Sudah ada 882 agenda pertemuan terjadwal di antara mereka selama dua hari itu.
Next Indonesia Unicorn atau biasa disebut Nexticorn merupakan kegiatan konferensi sekaligus ajang yang mempertemukan investor, terutamanya perusahaan modal ventura, dengan perusahaan rintisan bidang teknologi yang sedang membutuhkan pendanaan baru. Nexticorn ini mulanya adalah program Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 2018. Kemudian, mulai Maret 2019, program dikelola di bawah yayasan yang bernama sama.
”Agenda pertemuan yang sudah terdaftar akan tetap berjalan sesuai jadwal. Akan tetapi, deal atautidaknya suntikan pendanaan yang belum pasti. Kejadian yang dialami WeWork mau tidak mau menuntut investor sekarang mengedepankan akuntabilitas perusahaan,” tuturnya.
Seperti diketahui, minat investor pasar uang terhadap saham WeWork sangat rendah ketika eksekutif WeWork bertemu beberapa investor dan kalangan bank sebelum IPO. Valuasi WeWork yang mencapai 47 miliar dollar AS dipertanyakan. Begitu juga soal kelangsungan model bisnis, pengelolaan beban jangka panjang, dan penerimaan jangka pendek. Jawaban tak memuaskan membuat investor ragu-ragu. Induk perusahaan, The We Company, langsung menurunkan valuasi WeWork menjadi 10 miliar dollar AS-20 miliar dollar AS. CEO WeWork Adam Neumann diminta mengundurkan diri (Kompas, 1/10/2019).
Mengutip Cnbc.com, Rabu (6/11), CEO SoftBank Masayoshi Son mengakui bahwa pihaknya merugi pada triwulan pertama karena harus membantu menyelamatkan WeWork dengan cara menalangi 10 miliar dollar AS. SoftBank adalah salah satu investor besar WeWork. Dia mengatakan telah menutup mata terhadap masalah internal WeWork di berbagai bidang, seperti tata kelola perusahaan. Dia juga mengakui kekeliruannya dalam menilai valuasi WeWork.
Menurut Daniel, perusahaan rintisan bidang teknologi di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, kini dituntut mencetak pertumbuhan yang disertai dengan profit. Aktivitas promosi dan akuisisi pengguna baru dengan cara ”bakar uang” kemungkinan juga akan berkurang.
Pandangan Daniel tersebut juga mengemuka di sejumlah pertemuan serupa di negara lain.
Pada konferensi teknologi Web Summit di Lisabon, Portugal, minggu lalu, lebih dari 2.000 perusahaan rintisan bersaing untuk mendapatkan perhatian dari para pemodal ventura, perusahaan teknologi besar, dan perusahaan investasi. Calon investor di acara itu merespons dengan pesan umum: ”Tunjukkan kepada kami bagaimana Anda akan menghasilkan uang.”
”Narasi tentang jalan menuju profitabilitas menjadi bagian yang lebih besar versus pertumbuhan di semua biaya,” kata Ravi Viswanathan, pendiri dan mitra pengelola perusahaan modal ventura NewView Capital, seperti ditulis dalam Cnbc.com, Jumat (8/11).
Tujuan investasi
Daniel mengatakan, di Indonesia sampai sekarang masih terjadi kesenjangan akses pendanaan. Hal ini terutama dialami perusahaan rintisan bidang teknologi yang baru masuk fase awal perkembangan.
Sekitar 103 perusahaan rintisan bidang teknologi yang berpartisipasi berlatar belakang sektor industri beragam, antara lain penyedia jasa teknologi finansial, pendidikan, dan agribisnis. Adapun profil investor didominasi perusahaan modal ventura berkantor di Singapura, lalu sisanya dari Korea Selatan dan Jepang.
”Idealisme Yayasan Nexticorn adalah menjadikan Indonesia sebagai hub investasi untuk perusahaan rintisan bidang teknologi. Selama ini, hub investasi kebanyakan dipegang Singapura, baru aliran dananya menuju Indonesia sehingga tidak langsung," kata Daniel.
Dia mengakui, untuk menggaet lebih banyak perusahaan rintisan bidang teknologi menjadi peserta Nexticorn, yayasan perlu menggelar sosialisasi sampai ke luar Jakarta. Dia yakin bahwa ada banyak solusi bagus yang diciptakan perusahaan rintisan non-Jakarta, tetapi mereka juga mengalami persoalan akses pendanaan.
”Mayoritas peserta dari 103 perusahaan rintisan bidang teknologi berasal dari Jakarta,” kata Daniel.
Sesuai laporan ”e-Economy SEA 2019”, pada periode 2015, sampai dengan semester I-2019, tujuh perusahaan teknologi berstatus unicorn di Asia Tenggara mengumpulkan pendanaan 24 miliar dollar AS. Sekitar 70 perusahaan aspiring unicorn mengumpulkan pendanaan sekitar 5 miliar dollar AS sejak 2016. Pada semester I-2019, investasi yang mereka terima sekitar 1,1 miliar dollar AS.
Laporan yang dikerjakan Google, Temasek Holdings Pte, dan Bain & Company itu juga menyebutkan, ketegangan perdagangan Amerika Serikat dengan China yang meningkat telah menurunkan perdagangan dan membatasi pengeluaran investasi. Situasi ini berdampak terhadap pendanaan bagi pelaku usaha ekonomi digital global. Menurut data Crunchbase, pendanaan ventura global diprediksi turun 17,5 persen pada triwulan II-2019 meskipun ke Asia Tenggara tetap lancar. (MED)