Negara-negara di dunia mulai berlomba menekan emisi karbon. Penggunaan energi baru dan terbarukan ditingkatkan, baik dari tenaga surya, angin, hingga hidrogen, serta mengembangkan kota-kota pintar yang hemat energi.
Oleh
ERWIN EDHI PRASETYA
·5 menit baca
Negara-negara di dunia kini mulai berlomba menekan emisi karbon. Penggunaan energi baru dan terbarukan ditingkatkan, baik dari tenaga surya, angin, hingga hidrogen, serta mengembangkan kota-kota pintar yang hemat energi dan ramah lingkungan.
Manuel Kuehn, Senior Vice President, Business Development and Strategy, Head of Executive Office, Siemens Uni Emirat Arab dan Timur Tengah mengatakan, emisi karbon yang dihasilkan dari bahan bakar fosil terus menanjak. Berdasarkan data Carbon Brief, pada tahun 1960 emisi tercatat kurang dari 10 giga ton karbon (GtC02), namun pada 2018 telah menjadi 37,15 GtC02.
Pembangkit listrik menyumbang emisi karbon paling besar yakni 40 persen, industri berkontribusi 24 persen, transportasi 21 persen, bangunan 10 persen, dan lain-lainnya 5 persen.
“Pengurangan emisi karbon sejauh ini masih berfokus pada pembangkit listrik. Seharusnya semua sektor berkontribusi menekan emisi karbon,” ujarnya di Kantor Pusat Siemens wilayah Timur Tengah di Masdar, Uni Emirat Arab, Minggu (20/10/2019).
Pengurangan emisi karbon sejauh ini masih berfokus pada pembangkit listrik. Seharusnya semua sektor berkontribusi menekan emisi karbon, ujar Manuel Kuehn
Pada sektor pembangkit listrik, upaya mengurangi emisi karbon dengan memanfaatkan energi terbarukan menunjukkan tren peningkatan. Instalasi terpasang pembangkit listrik tenaga surya di dunia bertambah dari 15 GW (Gigawatt) pada 2008 menjadi 391 GW pada 2017.
Peningkatan itu didorong penurunan biaya untuk menghasilkan listrik dari pembangkit listrik tenaga surya, yaitu dari sebesar 323-394 dollar AS per MWh (Megawatt hour) pada 2009 menjadi 40-46 dollar AS per MWh pada tahun 2018.
Bahkan beberapa negara, seperti Chile, Meksiko dan Arab Saudi telah mencapai level biaya terendah, yaitu Chile sebesar 21,5 dollar AS per MWh, Meksiko 19,7 dollar AS per MWh dan Arab Saudi 17,9 dollar AS per MWh pada 2017.
Instalasi pembangkit listrik bertenaga angin di dunia juga meningkat dari kapasitas produksi 115 GW pada tahun 2008 menjadi sebesar 514 GW pada 2017. Peningkatan ini juga didorong penurunan biaya untuk menghasilkan listrik dari pembangkit listrik tenaga angin.
Pada 2009 biayanya masih dikisaran 101 dollar AS hingga 169 dollar AS per MWh. Pada 2018 turun signifikan menjadi 29-56 dollar AS per MWh. Di Meksiko bahkan hanya sebesar 17,7 dollar AS per MWh pada 2017.
Chief Executive Officer of Siemens Middle East and CEO of Siemens LLC United Arab Emirates Dietmar Siersdorfer mengatakan, permintaan energi global diperkirakan akan melonjak hingga 60 persen pada 2040. Di kawasan Timur Tengah saja, pada 2030 kepasitas pembangkit listrik direncanakan meningkat dari 200 GW menjadi 467 GW karena meningginya permintaan.
Untuk memenuhi kebutuhan itu, pemanfaatan energi terbarukan diprediksi tumbuh semakin besar, namun gas alam masih akan mendominasi pada 2030. Pada 2014, kontribusi gas alam menyumbang 61 persen dan diprediksi meningkat menjadi 64 persen pada 2030.
Kontribusi energi terbarukan diprediksi tumbuh dari 9 persen menjadi 14 persen pada periode yang sama. “Sumber energi lain akan turun dari 30 persen menjadi 21 persen,” ujarnya.
Menurut Manuel, penurunan biaya listrik dari sumber energi terbarukan itu membuat hidrogen hijau secara komersial memenuhi kelayakan ekonomis untuk diproduksi dalam skala besar. Hidrogen (H2) dihasilkan melalui teknologi elektrolisis untuk memisahkan air menjadi hidrogen dan oksigen dengan menggunakan listrik.
Hidrogen bisa dimanfaatkan untuk bahan bakar di sektor industri, transportasi, maupun pembangkit listrik. Untuk industri, misalnya, bisa diaplikasikan untuk memproduksi amonia, produksi logam, dan kaca lembaran. Hidrogen juga bisa dipergunakan sebagai bahan bakar hijau untuk berbagai moda transportasi.
Siemens telah mengembangkan teknologi Siemens Silyzer 200 untuk menghasilkan hidrogen murni. Silyzer 200 menggunakan basis teknologi elektrolisis tekanan tinggi untuk menghasilkan hidrogen hijau dari energi terbarukan dengan tanpa menghasilkan emisi karbon atau nol karbon. Setiap unit Silyzer 200 membutuhkan listrik 1,25 MW untuk menghasilkan Hidrogen sebesar 20 kg per jam. Silyzer 200 menghasilkan hidrogen sangat murni tanpa residu belerang, nitrogen, atau karbon.
Di Dubai, Siemens telah menjalin kerja sama dengan Dubai Electricity and Water Authority (DEWA), otoritas listrik dan air Dubai dalam proyek percontohan untuk memproduksi hidrogen dalam skala industri menggunakan Silyzer 200. Proyek percontohan ini adalah yang pertama di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.
Hidrogen akan diproduksi dengan memanfaatkan listrik yang dihasilkan dari tenaga surya. Peletakan batu pertama proyek ini dilakukan Februari 2019 silam dan direncanakan beroperasi sebelum Oktober 2020 untuk mendukung gelaran Expo 2020 Dubai, pemeran terbesar di dunia yang digelar di Dubai.
Selain di Dubai, Zilyzer 200 telah dipergunakan di beberapa negara sejak 2016, antara lain Jerman, Australia, dan Swedia untuk kebutuhan industri, transportasi dan pembangkit listrik. Siemens juga mengembangkan generasi terbaru, yaitu Zilyzer 300 dengan kapasitas produksi hidrogen yang lebih besar.
Di UEA, energi listrik tenaga surya juga dimanfaatkan di kota Masdar yang berlokasi 17 km sebelah tenggara Abu Dhabi. Kota pintar dan berkelanjutan yang dikembangkan UEA inididukung pembangkit listrik tenaga suryaberdaya 10 MW dan sistem atap gedung berpanel surya 1 MW. Memanfaatkan limpahan cahaya matahari, pembangkit listrik tenaga surya itu menghasilkan 17.500MWh listrik bersih setiap tahun dan mengalihkan 7.350 ton emisi karbon per tahun.
Mengurangi konsumsi
Bangunan-bangunan di Masdar dirancang secara khusus untuk mengurangi konsumsi listrik dan air. Gedung-gedung didesain dengan mengintegrasikan teknik arsitektur tradisional Arab dan teknologi bangunan modern. Desain itu memungkinkan udara mengalir lebih baik dan efektif menangkal sengatan panas matahari sehingga udara di luar ruang menjadi lebih sejuk.
Salah satunya adalah bangunan kantor pusat Siemens wilayah Timur Tengah di Masdar. Gedung Siemens dirancang bagaikan sebuah kotak di dalam sebuah kotak. Bangunan utama dilindungi fasad luar dari alumunium yang berfungsi menangkis panas matahari. Namun, cahaya matahari tetap dimanfaatkan untuk menerangi ruangan-ruangan di dalam gedung.
Hal itu dikombinasikan Sistem Manajemen Gedung Siemens yang secara pintar menyesuaikan pencahayaan, mengatur suhu dan mendeteksi penggunaan energi yang tidak perlu. Hasilnya, penggunaan energi berkurang 46 persen dibandingkan dengan bangunan kantor khas UEA dan penggunaan air bahkan berkurang hingga 50 persen dibandingkan dengan gedung kantor standar.
Penggunaan energi baru dan terbarukan kini semakin tumbuh untuk menekan emisi guna mengatasi pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim. Indonesia jangan mau ketinggalan dengan negara-negara lain.