Indonesia, RCEP, dan Kekhawatiran India
India dengan berani menolak menyepakati perjanjian RCEP. India khawatir produk-produk impor membanjir di tengah upaya membangun industri rantai nilai global bernilai tambah tinggi. Bagaimana dengan Indonesia?

Presiden Joko Widodo (kedua dari kanan) bergandengan tangan dengan para pemimpin pemerintahan negara ASEAN saat upacara pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi ke-35 ASEAN di Bangkok, Thailand, Minggu (3/11/2019).
Pimpinan negara-negara anggota perunding Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional atau RCEP telah memberikan pernyataan bersama menyetujui perjanjian itu. Meskipun tanpa India, pernyataan bersama RCEP ini tetap menjadi sinyal positif bagi perekonomian dunia.
Namun, sikap tegas India menolak bergabung dalam RCEP justru menjadi pengingat bagi negara-negara yang menyepakati RCEP, terutama Indonesia. India ingin melindungi industri domestiknya dari potensi membanjirnya impor produk-produk sejenis yang diproduksi India.
Senin (4/11/2019), kepala-kepala negara perunding RCEP memberikan pernyataan bersama dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-3 RCEP di Bangkok, Thailand. Sebanyak 15 negara mengunci 20 bab pokok-pokok pengaturan perjanjian perdagangan barang dan jasa serta investasi itu.
Kelima belas negara itu adalah 10 negara anggota ASEAN ditambah Selandia Baru, Australia, China, Jepang, dan Korea Selatan. India yang turut dalam perundingan tersebut tidak turut menyepakati.
”Pernyataan bersama ini menjadi pesan bagi perekonomian dunia, dialog dan perundingan adalah win-win solutions (solusi menang-menang) untuk keluar dari situasi perdagangan global saat ini,” kata Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan (Kemendag) Iman Pambagyo saat dihubungi Kompas, Selasa (5/11/2019).
Perekonomian global saat ini tengah melambat. Hal itu tampak dari revisi proyeksi pertumbuhan perekonomian global sepanjang 2019 oleh Bank Dunia pada Juni 2019 dari 2,9 persen menjadi 2,6 persen.
Para pimpinan menyatakan, di tengah lingkungan global yang berubah dengan cepat, penyelesaian negosiasi RCEP akan menunjukkan komitmen bersama 15 negara terhadap perdagangan dan investasi yang terbuka di seluruh kawasan.
Para kepala negara itu telah menegosiasikan perjanjian RCEP yang bertujuan untuk memperluas dan memperdalam rantai nilai regional. Tujuannya untuk keuntungan bisnis bersama, termasuk usaha kecil dan menengah, pekerja, produsen, dan konsumen.
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F11%2F38e8e097-1ef1-485c-9bc4-1c3dc677db53_jpg.jpg)
Paparan Kementerian Perdagangan terkait Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP).
Ke depannya, RCEP secara signifikan dapat meningkatkan prospek pertumbuhan kawasan dan berkontribusi positif terhadap ekonomi global. RCEP juga sekaligus berfungsi sebagai pilar pendukung sistem perdagangan multilateral yang kuat dan promosi pembangunan ekonomi di wilayah tersebut.
Para pimpinan negara menyambut baik laporan yang disampaikan para menteri tentang hasil negosiasi RCEP yang dimulai pada 2013. Mereka memahami, sebanyak 15 negara yang berpartisipasi dalam RCEP telah menyepakati negosiasi berbasis teks untuk 20 bab dan semua isu akses pasar ataupun kajian hukum (legal scrubbing) yang ditugaskan untuk mulai ditandatangani pada 2020.
Baca juga: 15 Negara Sepakati RCEP
Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani berpendapat, pernyataan bersama dari para pimpinan negara yang menyepakati RCEP merupakan sinyal positif. ”Setidaknya, kawasan kita (RCEP) masih merangkul keterbukaan terhadap perdagangan dan investasi, baik global maupun regional,” katanya.
Shinta menambahkan, pernyataan bersama kepala negara RCEP juga menunjukkan adanya skema kerja sama ekonomi yang memberikan jaminan kepastian berusaha lebih tinggi untuk berkegiatan ekonomi di kawasan dibandingkan sebelumnya. Hal ini akan membuat kawasan RCEP, termasuk Indonesia, semakin kompetitif dan semakin diperhitungkan sebagai pusat pertumbuhan dunia.
Pernyataan bersama kepala negara RCEP juga menunjukkan adanya skema kerja sama ekonomi yang memberikan jaminan kepastian berusaha lebih tinggi untuk berkegiatan ekonomi di kawasan dibandingkan sebelumnya.
Kekhawatiran India
Apabila India turut serta, Kemendag mengasumsikan, pasar RCEP akan terdiri dari populasi yang sebanyak 3,5 miliar juta jiwa. Total produk domestik bruto (PDB) kawasan ini dapat mencapai 22,4 triliun dollar AS.
Berdasarkan data yang dihimpun Bank Dunia, populasi India pada 2018 sebanyak 1,35 miliar jiwa. Total PDB India sebesar 2,72 triliun dollar AS pada tahun yang sama.
Bank Dunia memproyeksikan, pertumbuhan India akan mencapai 7,5 persen sepanjang 2019. Angka pertumbuhan itu bersifat stagnan pada 2020 dan 2021.
Di bagian akhir pernyataan bersama, para pimpinan negara anggota RCEP menyatakan akan bekerja bersama untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan India. Keputusan akhir India akan tergantung pada solusi terbaik dari masalah ini.

Presiden Joko Widodo (kiri) berbincang dengan Perdana Menteri India Narendra Modi sebelum pertemuan bilateral di sela KTT ke-35 ASEAN di Bangkok, Thailand, Minggu (3/11/2019).
Perdana Menteri India Narendra Modi menyatakan, India tidak bisa mengompromikan kepentingan petani dan pekerja India ketika ada perjanjian perdagangan dengan China yang menyoroti akses pasar. ”Ketika memperhitungkan perjanjian RCEP dengan kepentingan India, saya tidak mendapatkan jawaban positif,” ujarnya.
India mencatatkan defisit perdagangan sebesar 53 miliar dollar AS sepanjang periode 2018-2019. Modi mengatakan, oposisi di India khawatir RCEP akan membuat produk China membanjiri pasar India dengan harga yang lebih murah. Selain China, India juga khawatir hasil pertanian dari Australia dan Selandia Baru akan membahayakan produsen lokal.
Di sisi lain, negosiator perdagangan India dan para pelaku usaha mendukung kesepakatan yang berpihak pada perindustrian dalam negeri untuk terlibat dalam rantai pasok global di bagian produk akhir bernilai tambah tinggi. Contohnya, produk elektronik dan permesinan.
India khawatir RCEP akan membuat produk China membanjiri pasar India dengan harga yang lebih murah.
Hal itu berlandaskan, perluasan akses ke pasar global dapat menopang India menghadapi perlambatan ekonomi domestik. Selain itu, Presiden Konfederasi Industri India Vikram Kirloskar mengatakan, keterlibatan dalam rantai pasok global menjadi kepentingan industri di India dalam jangka panjang.
Untuk menggaet India kembali, Shinta berpendapat, Indonesia sebagai ketua Komite Negosiasi Perdagangan dapat melakukan pendekatan diplomatis bilateral dengan India. Indonesia juga dapat mengadakan dialog antarpimpinan negara anggota RCEP untuk membicarakan prioritas-prioritas kepentingan India yang perlu diakomodasi.

Pedagang kain kiloan menunggu pembeli di kawasan Pasar Cipadu, Kota Tangerang, Banten, Senin (14/10/2019). Industri tekstil dalam negeri tengah lesu. Selain dampak dari perang dagang Amerika Serikat-China, kebocoran impor tekstil dan produk tekstil dinilai menjadi penyebab.
Indonesia bergantung impor
Bagaimana dengan Indonesia? Seiring dengan maraknya perjanjian-perjanjian perdagangan internasional yang dibuat Indonesia dengan negara-negara lain, Indonesia tetap perlu belajar dari India. Perlindungan terhadap industri domestik, termasuk sektor pertanian, sangat diperlukan.
Barang impor masih mendominasi belanja pengadaan pemerintah yang mencakup total belanja kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Kondisi itu dinilai terjadi karena biaya dan kualitas produk lokal belum seefisien dan sebaik produk impor.
Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Roni Dwi Susanto mengungkapkan, 37 persen dari nilai transaksi belanja pengadaan barang dan jasa melalui katalog elektronik pemerintah berasal dari luar negeri. Nilai itu belum termasuk bahan baku impor yang dijadikan produk oleh pabrik representasi asing di Indonesia.
Ia mencontohkan, Kementerian Kesehatan masih membutuhkan produk impor sekitar 95 persen, seperti obat-obatan dan alat kesehatan. Demikian juga pengadaan barang dan jasa untuk infrastruktur olahraga, seperti Stadion Papua Bangkit yang disiapkan untuk Pekan Olahraga Nasional 2020 (Kompas.id, 4/11/2019).
Baca juga: Barang Impor Masih Mendominasi Belanja Pemerintah

Neraca perdagangan tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan defisit lima tahun terakhir. Defisit neraca perdagangan subsektor tanaman pangan selama 2015-2018 sebesar 6,75 miliar dollar AS per tahun.
Baca juga: Fokus pada Kesejahteraan Petani
Khusus tanaman pangan, defisit perdagangan cenderung meningkat, secara volumetrik bertambah dari 18,8 juta ton pada 2015 menjadi 21,5 juta ton pada 2018. Padahal, subsektor ini menjadi salah satu fokus kerja Kementerian Pertanian lima tahun terakhir. Tiga komoditas yang jadi sasaran program, yakni beras, jagung, dan kedelai, juga masih impor. (REUTERS)