Ada berbagai poin penting dalam diskusi kelompok terfokus bertajuk ”Non-Tariff Measures atau NTM” sebagai Instrumen Perlindungan Industri Dalam Negeri. Diskusi digelar Kamar Dagang dan Industri Indonesia beberapa waktu lalu.
Peneliti senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati, misalnya, pada diskusi tersebut menyampaikan, NTM dilakukan banyak negara di dunia. Tujuannya jelas, yakni melindungi produksi dan kepentingan dalam negeri.
Hal yang menggelitik adalah jumlah NTM di negara maju mencapai ribuan. Angka ini berkali-kali lipat dari jumlah NTM di Indonesia.
Sebagai gambaran, merujuk data Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) per Juni 2017, ada 5.186 NTM di Amerika Serikat. Pada saat sama, ada 2.554 NTM di China. Sementara di Indonesia tercatat 289 NTM.
Isu senada juga terungkap pada Forum Standardisasi Indonesia yang digelar Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian, pekan lalu. Forum tersebut mengusung tema ”Peran Standardisasi dalam Peningkatan Daya Saing Nasional”.
Dalam forum itu, Kepala BPPI Kementerian Perindustrian Ngakan Timur Antara menyampaikan, banyak negara di dunia yang tidak membuka pasar seluas-luasnya meskipun industri di negara-negara tersebut kuat. Sejumlah negara itu membuat berbagai standar terkait pembatasan importasi produk ke negara mereka.
Ketika dikomparasi, jumlah NTM yang dibuat Indonesia tidak sampai 400, sedangkan di Uni Eropa mencapai ribuan. Maka, muncul pendapat atau pandangan bahwa dalam persoalan ini, Indonesia terlalu lunak.
Ada penilaian bahwa Standar Nasional Indonesia (SNI) merupakan salah satu instrumen penguat daya saing industri nasional. Akan tetapi, kenyataannya, kondisi terkini menunjukkan, jumlah SNI industri yang ditetapkan sebagai SNI wajib terbilang masih minim di Tanah Air.
Data Kemenperin menyebutkan, sampai dengan semester I-2019, sebanyak 113 SNI ditetapkan sebagai SNI wajib dari total 4.984 SNI di bidang industri. Artinya, baru sekitar 2,3 persen dari total SNI bidang industri yang diwajibkan.
Ada sejumlah kesiapan yang disyaratkan dalam pemberlakuan SNI wajib, termasuk kesiapan infrastruktur standar. Infrastruktur standar tersebut meliputi lembaga sertifikasi, laboratorium uji, penilai, dan pengambil sampel.
Kecukupan infrastruktur standar menjadi satu persoalan yang harus dipecahkan. Jangan juga dilupkan aspek lain, misalnya terkait pengawasan produk yang sedang atau akan beredar di pasar dalam negeri.
Suara pelaku industri patut didengar. The Indonesian Iron and Steel Industry Association, misalnya, menyuarakan arti penting konsistensi penerapan standar dari hulu hingga hilir. Konsistensi tersebut dinilai dapat menyehatkan dan meningkatkan utilisasi industri.
Produk dengan standar tidak baik jangan lagi dibiarkan merangsek di pasar dalam negeri. Medan persaingan yang adil dibutuhkan untuk menjaga investasi yang telah tertanam di negeri ini. (C Anto Saptowalyono)