JAKARTA, KOMPAS--Di tengah pelambatan pertumbuhan ekonomi global, investasi dan perdagangan melalui kemitraan bisa jadi sumber pertumbuhan ekonomi baru. Saat ini, perekonomian RI ditopang konsumsi masyarakat.
Perjanjian internasional, baik dalam skala regional maupun bilateral, bisa jadi cara meraih sumber pertumbuhan ekonomi baru itu. Kemudahan Berusaha yang dirilis Bank Dunia jadi salah satu indikator dalam menarik investasi.
Perang dagang Amerika Serikat-China, merupakan salah satu faktor yang membuat sejumlah lembaga dunia merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi global dan Indonesia. Bank Dunia yang semula memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 5,1 persen pada 2019 dan 5,2 persen pada 2020, merevisi menjadi 5 persen pada 2019 dan 5,1 persen pada 2020. Adapun Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi pertumbuhan ekonomi RI dari 5,2 persen menjadi 5 persen pada 2019 dan 5,2 persen menjadi 5,1 persen pada 2020.
Dalam Kemudahan Berusaha 2020, Indonesia di peringkat ke-73 dari 190 negara. Sementara, berdasarkan data Konferensi Perdagangan dan Pembangunan PBB (UNCTAD), pada 2018 Indonesia menerima aliran penanaman modal asing (PMA) 22 miliar dollar AS atau tumbuh 6,8 persen secara tahunan.
"Sumber pertumbuhan ekonomi utama masih berupa konsumsi. Padahal, sebaiknya investasi juga menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi utama," kata Kepala Departemen Perekonomian Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri seusai diskusi panel simposium internasional "Asia\'s Trade and Economic Priorities 2020" yang diselenggarakan Biro Riset Ekonomi Indonesia dan (IBER) dan Biro Riset Ekonomi Asia (ABER) di Jakarta, Selasa (29/10/2019).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2019 sebesar 5,05 persen. Dari pertumbuhan sebesar itu, konsumsi masyarakat menyumbang 2,77 persen, sedangkan investasi 1,59 persen.
Yose berharap Indonesia mengikuti jejak Vietnam. Mengutip CEIC, rasio PMA terhadap produk domestik bruto (PDB) Vietnam pada 2018 sebesar 6,3 persen. Sementara, rasio PMA terhadap PDB Indonesia 1,4 persen.
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Jakarta, Muhamad Chatib Basri, menyebutkan, sumber pertumbuhan ekonomi baru membutuhkan sokongan reformasi struktural. Sokongan antara lain terkait aturan ketenagakerjaan, kemampuan dan kapasitas tenaga kerja, serta proses perizinan.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyampaikan, proyeksi BI, pertumbuhan ekonomi dunia pada 2019 sebesar 3 persen dan pada 2020 sebesar 3,1 persen. Jika perang dagang berlanjut, pertumbuhan ekonomi dunia pada 2020 diperkirakan 2,9-3 persen.
Kondisi perekonomian global ini berdampak pada sejumlah negara, termasuk mitra dagang utama Indonesia. Salah satu mitra dagang utama, yakni China, perekonomiannya tumbuh 6,2 persen pada triwulan II-2019. Sementara, perekonomian AS tumbuh 2,3 persen.
Dirundingkan
Menurut Perry, salah satu perjanjian yang bisa digunakan untuk meraih sumber pertumbuhan ekonomi baru adalah Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional atau RCEP.
RCEP sedang dirundingkan 10 negara anggota ASEAN, India, China, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Australia. Kementerian Perdagangan memproyeksikan, ekspor Indonesia dapat meningkat 8-11 persen dalam lima tahun pertama setelah penerapan RCEP.
Direktur IBER Mari Elka Pangestu berpendapat, RCEP bisa jadi sinyal positif di tengah tekanan perang dagang tang berdampak pada perekonomian global. RCEP menunjukkan integrasi antarnegara menopang pertumbuhan sehingga dunia dapat merasakan manfaatnya.
"RCEP membuka akses pasar baru, investasi baru, dan hubungan dagang baru," katanya.
David Vines, profesor di bidang ekonomi dari University of Oxford, berpendapat, dunia tengah menunggu Asia mengambil peran kepemimpinan dunia melalui RCEP.
Sementara, Direktur Australia-Japan Research Centre Shiro Armstrong mengatakan, RCEP menjadi bukti kerja sama di tengah ketidakpastian perdagangan dunia.
Dalam kesempatan terpisah, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan, dalam lima tahun mendatang, salah satu prioritas dalam politik luar negeri Indonesia adalah melanjutkan diplomasi ekonomi. “Dalam pelaksanaan diplomasi ekonomi, Indonesia perlu mengkapitalisasi pasar domestik menggunakan 260 juta penduduk sebagai daya tawar dalam menjalin kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan,” kata Retno. (JUD/LSA)