JAKARTA, KOMPAS--Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo akan mengevaluasi larangan alih muatan kapal atau transhipment. Janji mengevaluasi larangan itu disampaikan untuk menjawab permintaan pelaku usaha agar pemerintah mencabut kebijakan tersebut.
Padahal, larangan alih muatan diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 57 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Permen KKP Nomor 30 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.
“Kapal pengangkut ikan beroperasi di wilayah penangkapan ikan dan tidak perlu khawatir ada pelanggaran, karena kapal dipantau pemerintah melalui vms (sistem monitor kapal) dan petugas observer,” ujar Ketua II Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia Ady Surya dalam diskusi dengan Edhy Prabowo diMuara Angke, Jakarta, Senin (28/10/2019). Edhy juga berkunjung ke Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta.
Ady Surya menambahkan, alih muatan kapal di tengah laut dapat menghemat 60 persen biaya bahan bakar minyak. Dengan alih muatan kapal, operasional kapal menjadi lebih efisien karena ada kapal yang menampung hasil tangkapan ikan untuk segera diangkut ke pelabuhan.
Menjawab permintaan itu, Edhy Prabowo meminta waktu untuk mempelajari dan evaluasi kebijakan alih muatan kapal. Pihaknya akan meminta kajian tim ahli dan akademisi. Menurut Edhy, selama ini alih muatan kapal dianggap negatif karena pelanggaran yang ditimbulkan.
“Dalam pelaksanaannya, kapal ikan hanya melaporkan hasil tangkapan sedikit ke pelabuhan karena ada mothership (kapal ikan penadah) di tengah laut yang membawa lari ikan,” katanya.
Selama ini, alih muatan kapal di tengah laut diasumsikan melibatkan oknum TNI, KKP dan kepolisian. Namun, saat ini sudah ada real time global positioning system (GPS) yang bisa dilihat dan memantau pergerakan kapal, termasuk pengangkutan ikan di tengah laut.
“Penyelesaian secepat-cepatnya, tapi tidak gegabah karena harus ada landasan akademisnya. Kita mendengarkan para ahli,” ujar Edhy.
Secara terpisah, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Luky Adrianto, berpendapat, pencabutan larangan alih muatan kapal ikan sebaiknya melalui kajian yang matang dan bertahap. Selama ini, larangan alih muatan disebabkan potensi pelanggaran di tengah laut, yakni ikan diangkut untuk dilarikan ke negara lain.
Luky menilai, evaluasi terhadap kebijakan larangan alih muatan kapal sebaiknya didahulukan untuk konteks laut lepas, dengan mengacu pada ketentuan organisasi pengelolaan perikanan regional. Kebijakan alih muatan kapal di laut lepas akan mendorong industri perikanan tangkap hingga ke laut lepas.
Adapun evaluasi kebijakan larangan alih muatan kapal untuk perairan teritorial dan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) harus mempertimbangkan kesiapan perusahaan dari aspek bisnis, kesiapan metode pelaporan, dan aspek legal. Alih muatan kapal harus dipastikan menggunakan kapal dari satu unit usaha atau kontrak bisnis dengan perusahaan lain yang dilaporkan. (LKT)