Indeks Daya Saing Global 4.0 Indonesia turun dari peringkat ke-45 pada 2018 menjadi peringkat ke-50 pada 2019. Penurunan itu terbebani rendahnya keterampilan, kesehatan, dan penerapan teknologi informasi masyarakat.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
Kompas/Hendra A Setyawan
Mesin pemeras nanas dipamerkan dalam Startup Teknologi dan Inovasi Industri Anak Negeri, Inovator Inovasi Indonesia Expo (I3E) 2019 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Jumat (4/10/2019). I3E menampilkan 404 produk inovatif yang terdiri dari 249 hasil inovasi dari pendanaan program Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi (PPBT), 132 produk dari pendanaan program Calon Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi (CPPBT), dan 23 produk dari pendanaan program Inovasi Industri yang semuanya adalah karya anak bangsa. Pameran akan berlangsung hingga Minggu (6/10/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah semangat dan upaya pemerintah mereformasi struktur ekonomi, indeks daya saing global Indonesia justru turun. Penurunan daya saing terbebani oleh rendahnya keterampilan, kesehatan, dan penerapan teknologi informasi masyarakat Indonesia.
Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index/GCI) 4.0 tahun 2019 yang dirilis Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) pada Rabu (9/10/2019) menempatkan Indonesia di peringkat ke-50 dari 141 negara. Peringkat tersebut turun karena pada 2018 Indonesia berada di peringkat ke-45.
Terdapat 12 pilar atau komponen yang diteliti dalam menghitung skor GCI, yakni institusi, infrastruktur, kesiapan teknologi informasi dan komunikasi, stabilitas ekonomi makro, kesehatan, keterampilan, pangsa pasar, pasar tenaga kerja, sistem keuangan, potensi pasar, dinamika bisnis, dan kapabilitas inovasi.
Pada tahun ini, Indonesia mencatatkan keseluruhan skor GCI sebesar 64,6. Sementara tahun lalu, skor GCI Indonesia sebesar 64,9.
Dari ke-12 komponen yang ada, daya saing global Indonesia di kesiapan teknologi informasi dan komunikasi turun paling dalam. Daya saing global Indonesia di sektor itu turun dari peringkat ke-65 (skor 61,1) pada 2018 menjadi peringkat ke-72 (skor 55,4) pada 2019.
Adapun peringkat kesehatan menurun dari peringkat ke-95 (skor 71,7) pada 2018 menjadi peringkat ke-96 (skor 70,8) pada 2019. Sementara peringkat untuk keterampilan masih tetap meski skornya turun tipis. Daya saing Indonesia di sektor itu turun dari peringkat ke-62 (skor 64,1) pada 2018 menjadi peringkat ke-65 (skor 64) pada 2019.
THE WORLD ECONOMIC FORUM
Peringkat 141 negara dalam Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index/GCI) 2019.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam menilai, industri di Indonesia masih memiliki masalah dalam penerapan teknologi dan komunikasi. Di sisi lain, komponen ini sangat mendasar untuk mendukung bisnis digital.
”Kapasitas teknologi dan komunikasi diperlukan untuk menjamin pertumbuhan ekonomi berkesinambungan. Dampak penurunan pilar ini menjadi signifikan terhadap penurunan daya saing secara keseluruhan,” ujarnya, di Jakarta.
Industri di Indonesia masih memiliki masalah dalam penerapan teknologi dan komunikasi. Di sisi lain, komponen ini sangat mendasar untuk mendukung bisnis digital.
Terkait menurunnya skor kesehatan, meski angka harapan hidup masyarakat Indonesia meningkat hingga 71 tahun, penderita penyakit tidak menular meningkat. Pada April 2019, Menteri Kesehatan Nila F Moelek pernah menyatakan penyakit jantung telah membebani jaminan kesehatan negara hingga Rp 10,8 triliun.
”Adapun penurunan tipis skor keterampilan bisa jadi disebabkan oleh stagnasi kapasitas dan kualitas sekolah vokasi di Indonesia,” kata Piter.
Grafik 12 komponen pembentuk Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness Index/GCI) 2019 negara Indonesia.
GCI disusun secara tahunan untuk mengetahui lanskap daya saing global, sejalan dengan revolusi industri keempat atau industri 4.0. Di dalam indeks tersebut, Singapura berada pada peringkat pertama dengan skor 84,8, disusul Amerika Serikat (83,7), Hong Kong (83,1), Belanda (82,4), Swiss (82,3), Jepang (82,3), dan Jerman (81,8).
Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia berada di belakang Singapura sebagai peringkat pertama global, disusul Malaysia (27) dan Thailand (40).
Di kawasan Asia dan Pasifik, Indonesia hanya unggul pada tiga pilar, yaitu potensi pasar, dinamika bisnis, dan stabilitas ekonomi makro. Di kawasan itu, daya saing global potensi pasar Indonesia berada di peringkat ke-7, dinamika bisnis peringkat ke-29, dan stabilitas ekonomi makro peringkat ke-54.
Jika dibandingkan Filipina, potensi pasar Filipina peringkat ke-31, dinamika bisnis peringkat ke-44, dan stabilitas ekonomi makro peringkat ke-55. Adapun dengan Haiti, daya saing potensi pasar Haiti berada di peringkat ke-131, dinamika bisnis peringkat ke-141, dan stabilitas ekonomi makro peringkat ke-131.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, laporan WEF itu akan menjadi bahan pertimbangan dalam menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
”Komponen keterampilan, infrastruktur, serta kesiapan teknologi informasi dan komunikasi menjadi komponen prioritas yang akan diperhatikan dalam RPJMN 2020-2024,” ujarnya.
Komponen keterampilan, infrastruktur, serta kesiapan teknologi informasi dan komunikasi menjadi komponen prioritas yang akan diperhatikan dalam RPJMN 2020-2024.
Bambang pun meminta saran dari Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) untuk mereformasi struktur ekonomi Indonesia. ”Tujuan utamanya adalah pertumbuhan ekonomi yang lebih stabil dan lebih tinggi,” ujarnya.
BAPPENAS
Skenario pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Bambang menyebut, Bappenas akan mulai merumuskan deregulasi dan efisiensi institusi. Pemerintah ingin memasukkan regulasi ideal yang kompetitif terkait ekspor dan investasi. Dengan demikian, ekonomi diharapkan bisa tumbuh lebih tinggi dan stabil, tanpa harus bergantung pada sumber daya alam.
Kerja sama kajian dengan OECD akan fokus pada metode kebijakan, terutama menyesuaikan rancangan kebijakan Indonesia dengan standar global. Apalagi, OECD adalah standar kebijakan yang dibuat oleh para negara maju. Hal ini menjadi strategi untuk menjemput investasi langsung bisa masuk ke Indonesia.
KOMPAS/DIMAS WARADITYA NUGRAHA
Head of the Southeast Asia Division in the Global Relation OECD Alexander Bohmer.
Head of the South and Southeast Asia Division in the Global Relation OECD Alexander Bohmer menyatakan, ada sejumlah agenda perbaikan yang perlu dilakukan Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Saat ini Indonesia perlu mempelajari sejumlah penyebab kesenjangan ekonomi dan lemahnya investasi langsung ke Indonesia.
Saat ini Indonesia perlu mempelajari sejumlah penyebab kesenjangan ekonomi dan lemahnya investasi langsung ke Indonesia. Alexander menilai, sifat restriktif dalam regulasi Indonesia adalah kecenderungan yang sama hampir di seluruh daratan Asia Tenggara.
Dia menyebut ada beberapa aturan yang sangat restriktif yang mempersulit investasi langsung masuk. Misalnya di sektor energi, infrastruktur, dan transportasi yang sifatnya masih terbatas.
Sebelumnya, pada Mei 2019, Institute for Management Development (IMD), Swiss, meluncurkan IMD Indeks Daya Saing Dunia (IMD World Competitiveness Yearbook/WCY) 2019. Dalam laporan itu, Indonesia menempati peringkat ke-32 dari 63 negara dengan skor 73,59, meningkat dari posisi tahun lalu yang menempati peringkat ke-43.
Dalam penilaian peringkat itu, IMD merujuk pada empat pilar daya saing, yaitu daya saing kinerja ekonomi, efisiensi pemerintahan, efisiensi bisnis, dan infrastruktur.