Investasi yang masuk ke Indonesia dapat membantu mendongkrak kinerja ekspor mebel. Investor asing dapat memberikan manfaat lebih besar jika bermitra dengan pelaku industri mebel di dalam negeri.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Investasi yang masuk ke Indonesia dapat membantu mendongkrak kinerja ekspor mebel. Investor asing dapat memberikan manfaat lebih besar jika bermitra dengan pelaku industri mebel di dalam negeri. Namun, investor asing tersebut diharapkan memiliki kekuatan modal, teknologi, dan jaringan.
”Ini seperti halnya Vietnam yang bekerja sama dengan China sehingga industri mebelnya bertumbuh pesat,” kata Sekretaris Jenderal Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur, Jumat (4/10/2019), di Jakarta.
Berdasarkan catatan HIMKI, realisasi ekspor mebel pada 2018 sebesar 1,7 miliar dollar AS dan ekspor kerajinan 740 juta dollar AS.
HIMKI menargetkan ekspor industri mebel dan kerajinan pada tahun ini dapat mencapai 3 miliar dollar AS. Nilai itu terdiri dari mebel 2 miliar dollar AS dan kerajinan 1 miliar dollar AS.
”Itu target untuk 2019. Namun, per September terlihat masih berat sekali karena pertumbuhan harus ditopang industri skala besar jika ingin signifikan seperti Vietnam,” ujar Abdul Sobur.
Dia menuturkan, pada 9 Oktober 2019, HIMKI bersama Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) serta Kementerian Perindustrian akan menghadiri forum bisnis di China. Kegiatan tersebut untuk mengundang investor industri mebel dari China.
Di dalam forum tersebut diharapkan dapat digelar mediasi perihal kekurangan di Indonesia. Jika kekurangan diatasi, investor mebel China akan bersedia masuk ke Indonesia, terutama dalam konteks krisis global.
”Untuk masuk ke pasar Amerika Serikat dari Indonesia masih dimungkinkan. Hal ini merupakan salah satu cara yang dilakukan teman-teman di HIMKI untuk menjembatani supaya ekspor mebel Indonesia tumbuh signifikan,” ujarnya.
Bermitra
Meskipun investor China cenderung ingin berinvestasi sendirian, HIMKI meminta agar para calon investor tersebut mau bermitra dengan pelaku industri di Indonesia.
”Kenapa? Kalau tidak bermitra, rawan terjadi perebutan operator dan bahan baku. Kalau bermitra, sama-sama untung,” kata Abdul Sobur.
Selain membawa modal, investor mebel skala besar dari China juga akan membawa serta teknologi produksi, permesinan, dan pemahaman atas berbagai aspek yang perlu diketahui.
Kalau tidak bermitra, rawan terjadi perebutan operator dan bahan baku.
Industri pendukung mebel yang akan masuk tersebut juga berpeluang memberi manfaat transfer teknologi bagi Indonesia.
Indonesia punya bahan baku melimpah dan upah yang lebih rendah dibandingkan dengan China. Efisiensi industri mebel bisa dibangun ketika dipadu dengan teknologi dari China.
”Dalam kasus perang dagang, sudut pandang soal pasar cenderung ke pasar AS. Padahal, penting juga bagi kita masuk kembali ke pasar China yang besar,” ujar Abdul Sobur.
Berdasarkan data BKPM, realisasi penanaman modal dalam negeri untuk industri kayu pada Januari-Juni 2019 sebesar Rp 1,144 triliun. Adapun realisasi penanaman modal asing 27,1 juta dollar AS.
Beberapa waktu lalu, Ketua Komite Tetap Pengembangan Ekspor Kamar Dagang dan Industri Indonesia Handito Joewono menyampaikan, salah satu negara yang dinilai berpotensi sebagai sasaran ekspor adalah China.
Sementara itu, Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Industri Kementerian Perindustrian Eko Suseno Agung Cahyanto beberapa waktu lalu menuturkan, pemerintah berupaya mendukung industri, termasuk dari sisi penyiapan tenaga kerja.
Informasi Biro Hubungan Masyarakat Kemenperin menyebutkan, Kemenperin memfasilitasi pembangunan Politeknik Industri Furnitur dan Pengolahan Kayu di Kawasan Industri Kendal, Jawa Tengah. Proses pembelajaran di politeknik tersebut menerapkan sistem ganda, yakni 70 persen berupa praktik dan 30 persen berupa teori.