Ketersediaan Lahan Hambat Pengembangan Hortikultura
Pemerintah tengah menyusun rancangan besar pengembangan hortikultura nasional. Pengembangan kluster hortikultura berprinsip satu desa satu varietas yang akan menjadi prioritas pada 2020.
Oleh
M PASCHALIA JUDITH J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pengembangan kawasan khusus atau kluster hortikultura, terkendala lahan. Jika tidak teratasi, daya saing komoditas hortikultura nasional dapat melemah, baik di pasar domestik maupun internasional.
Menurut Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian, Yasid Taufik, sifat konsumsi produk hortikultura telah bergeser ke arah substitusi, bukan komplementer. Kemudian setiap negara memiliki karakteristik produk hortikultura yang berbeda bergantung kondisi geografisnya.
"Dampaknya, produk satu sama lain seharusnya tidak bisa saling menggantikan. Namun, di Indonesia, konsumen tampak menggantikan produk lokal dengan produk impor, misalnya buah-buahan. Hal ini berimbas pada ketergantungan impor produk hortikultura," tuturnya dalam diskusi bertema "Peran Strategis Kebijakan dan Regulasi dalam Mengatasi Hambatan dan Tantangan Industri Hortikultura" yang diselenggarakan oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia di Jakarta, Kamis (3/10/2019).
Agar tak tergantikan, produk hortikultura nasional mesti berdaya saing, minimal di pasar domestik. Salah satu strateginya ialah, mengembangkan kawasan khusus atau klaster tanaman hortikultura.
Strategi tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 56 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian. Salah satu indikatornya, angka produksi dan produktivitas.
Yasid menggambarkan, seharusnya setiap komoditas hortikultura dikembangkan di lahan kluster minimal seluas 1.000 hektar di satu daerah. "Saat ini, lokasinya terpencar-pencar untuk satu komoditas. Setiap petani mengembangkan masing-masing dengan luas lahan berkisar 5 hektar," katanya.
Menurut Kepala Divisi Pemasaran dan Kerja Sama Pusat Kajian Hortikultura Tropikal Institut Pertanian Bogor (IPB) sekaligus Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB Muhammad Firdaus, daya saing produk hortikultura nasional di pasar internasional dapat terdongkrak dengan registrasi lahan.
Langkah ini dapat menyokong pertanggungjawaban ketertelusuran produk dari hulu yang selama ini menjadi salah satu sorotan pasar internasional.
Seharusnya setiap komoditas hortikultura dikembangkan di lahan kluster minimal seluas 1.000 hektar di satu daerah.
Dalam hal registrasi lahan itu, Firdaus berpendapat, pemerintah dapat bekerja sama dengan pelaku usaha rintisan di sektor yang sama. Usaha rintisan yang menghimpun datanya sedangkan pemerintah yang memadukannya secara nasional.
Langkah ini juga bermanfaat bagi pemerintah sebagai data dasar pemetaan kawasan produksi hortikultura. Di pasar domestik, pemerintah dapat mengetahui neraca pasokan dan permintaan di tiap daerah dengan pemetaan tersebut.
https://youtu.be/Ai3c3gX6h5c
Sementara itu, Ketua Komisi Tetap Hortikultura Kadin Indonesia Karen Tambayong menyatakan, pelaku usaha akan mengkaji jumlah lahan yang dibutuhkan untuk pengembangan secara klaster beserta produk unggulannya dalam tiga bulan ke depan. Kajian tersebut salah satunya akan berdasarkan selera pasar internasional. Ini untuk mendongkrak ekspor.
Sejalan dengan Kadin Indonesia, Asisten Deputi Agribisnis Kedeputian Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Yuli Sri Wilanti mengatakan, pemerintah tengah menyusun rancangan besar pengembangan hortikultura nasional. Pengembangan kawasan atau kluster hortikultura berprinsip satu desa satu varietas akan menjadi prioritas pada 2020.
Berdasarkan data Badan Karantina Kementerian Pertanian, volume ekspor produk hortikultura sepanjang Januari-Agustus 2019 mencapai 704.999 ton. Pendataan ini berdasarkan produk yang telah mendapatkan sertifikasi.
Legalitas lahan
Selain dari kuantitas dan sebaran lahan, aspek legalitas juga menjadi sorotan. Karen berharap, pelaku usaha swasta dapat mengadakan skema kerja sama berbasis hak pengelolaan (HPL) dengan pihak-pihak pemilik lahan yang sudah mengantongi hak guna usaha (HGU).
Legalitas tersebut merupakan hal vital dalam mengakses lahan bagi pelaku usaha yang ingin mengembangkan produk hortikultura. Firdaus berpendapat, pemerintah dapat memetakan lahan-lahan ber-HGU namun tidak berfungsi untuk dikerjasamakan melalui skema HPL.
Menurut Yuli, skema kerja sama dan pemetaan itu memungkinkan untuk dijalankan. Akan tetapi, langkah tersebut membutuhkan koordinasi antarkementerian/lembaga, seperti Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengingat sejumlah lahan ber-HGU tersebut milik korporasi BUMN.