Nilai tukar petani subsektor tanaman perkebunan rakyat Kalimantan Barat pada September sebesar 88,45. Nilai itu meningkat 0,14 persen dibandingkan Agustus.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·4 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Nilai tukar petani subsektor tanaman perkebunan rakyat Kalimantan Barat pada September sebesar 88,45. Nilai itu meningkat 0,14 persen dibandingkan Agustus. Meskipun meningkat, NTP pada September masih di bawah 100. Hal ini mengindikasikan bahwa subsektor tanaman perkebunan rakyat masih memerlukan perbaikan kebijakan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kalimantan Barat, nilai tukar petani (NTP) pada September meningkat 0,14 persen karena indeks harga yang diterima petani perkebunan rakyat turun 0,20 persen dibandingkan Agustus. Kemudian, indeks yang dibayar petani juga turun 0,34 persen dibandingkan Agustus.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura, Pontianak, Eddy Suratman menuturkan, NTP itu untuk menghitung biaya yang dikeluarkan petani dalam proses produksi dan juga menghitung pendapatan petani dari menjual hasil produksinya. Persoalan pokok sulitnya mencapai NTP di atas 100 disebabkan masih ada masalah dari sisi harga dan biaya yang ditanggung petani.
”Petani masih ada yang tertekan dari kedua aspek itu. Dari sisi harga, harga-harga yang ditanggung petani meningkat, misalnya pupuk dan peralatan pertanian. Dari sisi pendapatan cenderung menikmati harga yang rendah. Dua sisi itu sama-sama menekan petani di banyak daerah,” ujar Eddy.
Jika dilihat dari data BPS, NTP subsektor perkebunan rakyat naik 0,14 persen dibandingkan Agustus 2019. Hal itu karena biaya beban petani berkurang lebih banyak dibandingkan penurunan pendapatan.
Petani masih ada yang tertekan dari kedua aspek itu. Dari sisi harga, harga-harga yang ditanggung petani meningkat, misalnya pupuk dan peralatan pertanian. Dari sisi pendapatan cenderung menikmati harga yang rendah. Dua sisi itu sama-sama menekan petani di banyak daerah.
”Namun, peningkatan itu sebetulnya belum menunjukkan perbaikan yang substantif pada subsektor perkebunan rakyat. Harusnya biaya menurun, tetapi pendapatan dari hasil penjualan lebih tinggi sehingga NTP bisa di atas 100,” paparnya.
Untuk bisa mengatasi NTP yang masih di bawah 100, pemerintah bisa masuk dari sisi komponen biaya. Beban biayanya bisa dibantu pemerintah bersama-sama pusat, provinsi, dan kabupaten. Namun, masalahnya, pembagian beban tugas belum terformulasi dengan baik di daerah. Padahal, kalau pendapatannya tidak naik, tetapi jika biayanya bisa dikurangi dengan adanya bantuan pemerintah, NTP bisa meningkat.
Kemudian, dari sisi pendapatan, hal yang bisa dilakukan pemerintah adalah membantu petani untuk mencari pasar alternatif. Di tengah pelemahan harga komoditas dunia saat ini, diperlukan pasar alternatif.
Di lapangan, petani sebetulnya terus dirundung masalah. Mereka tidak merasakan perbaikan yang berarti. Thomas (45), petani lada di Entikong, Kabupaten Sanggau, perbatasan Indonesia-Malaysia, misalnya, merasa kian tertekan. Namun, ia tidak ada pilihan lain dan pasrah dengan keadaannya.
Abdul Majit (37), petani kopra di Kubu Raya, yang beberapa hari lalu berdemonstrasi ke Kantor Gubernur Kalbar menuntut perbaikan harga kopra, menuturkan, petani terus dilanda penurunan harga komoditas. Ini berdampak serius terhadap kesejahteraan petani. Beban biaya pendidikan anak, apalagi jika ada yang kuliah, sangat berat. Bahkan ada yang terancam tidak bisa sekolah.
Peran BUMDes
Gubernur Kalbar Sutarmidji mengatakan, NTP sulit lebih dari 100 sepanjang produksinya di bawah 3 ton per hektar. NTP hanya berkisar 90-93. Jika produksi berkisar 3,5-4 ton per hektar, NTP bisa lebih dari 100. Namun, hortikultura bisa lebih dari 100 karena pangsa pasarnya masih luas.
Selain itu, perkebunan rakyat masih anjlok harganya karena kondisi pasar dunia. Harga kopra di Kalbar anjlok dari Rp 8.000 per kilogram menjadi Rp 3.000 per kg karena dipicu harga minyak kelapa dunia yang menurun pada 2018 mencapai 1.600 dollar AS per metrik ton dan sekarang hanya 720 dollar AS per metrik ton.
Harga lada juga masih anjlok tergantung pasar dunia karena merupakan komoditas ekspor. Harga lada putih anjlok dari Rp 180.000 per kg menjadi Rp 40.000 per kg. Kemudian, harga lada hitam anjlok dari Rp 140.000 per kg menjadi Rp 20.000 per kg.
Untuk karet ada sedikit peningkatan harga. Namun, tata niaganya masih panjang, minimal ada empat tingkatan sebelum ke pabrik. Ada pengepul lokal yang menampung sebelum ke pabrik sehingga selisih harga pengepul dengan pabrik sekitar Rp 4.000 per kg.
Untuk mengatasi itu, badan usaha milik desa (BUMDes) harus berperan dalam menjembatani mengatasi masalah itu. BUMDes membeli komoditas rakyat, dari BUMDes langsung dijual ke pabrik, sehingga rantai distribusinya tidak panjang dan menggerogoti harga petani. Upaya itu setidaknya bisa sedikit meningkatkan penerimaan masyarakat.