Indonesia berpeluang besar menggeser posisi Brasil sebagai pemasok daging ayam dan produk turunannya ke Republik Demokratik Timor Leste.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·3 menit baca
SIDOARJO, KOMPAS - Indonesia berpeluang besar menggeser posisi Brasil sebagai pemasok daging ayam dan produk turunannya ke Republik Demokratik Timor Leste. Produk asal Indonesia diyakini berdaya saing tinggi karena lebih segar, harga kompetitif, serta memiliki cita rasa masakan yang akrab dengan selera masyarakat Timor Leste.
Pelaku usaha didorong menangkap peluang pasar tersebut dengan cara menggenjot transaksi ekspor baik volume maupun nilainya. Pemerintah pusat akan berupaya menjaga iklim usaha di sektor peternakan tetap kondusif agar produk Indonesia mampu mengalahkan kompetitor. Salah satunya mempermudah layanan perizinan.
Hal itu mengemuka dalam acara pelepasan ekspor perdana karkas ayam dan produk olahannya ke Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) oleh PT Cioma Adisatwa di Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (23/9/2019). Ekspor tahap awal ini sebanyak 60 ton karkas ayam dengan nilai Rp 2,8 miliar.
Direktur Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Peternakan Kementerian Pertanian Fini Murfiani mengatakan, pasar ekspor Timor Leste terbuka lebar setelah kedua negara menjalin kerjasama. Sebagai gambaran, Timor Leste mengimpor 4.537 ton daging ayam senilai 6,2 juta dollar Amerika Serikat (AS) untuk memenuhi kebutuhan penduduknya selama 2018.
“Mayoritas daging ayam itu diimpor dari Brasil dan Malaysia. Peluang Indonesia masih terbuka lebar karena memiliki sejumlah kelebihan,” ujar Fini.
Kelebihan yang dimaksud antara lain, jarak kedua negara yang relatif dekat berdampak pada biaya pengiriman barang lebih kompetitif. Produk nasional lebih segar dibandingkan produk dari negara lain, karena perusahaan eksportir telah memenuhi standar pangan internasional.
Faktor lain, ada kedekatan emosional dalam hal cita rasa masakan dengan masyarakat Timor Leste sehingga produk olahan Indonesia lebih mudah diterima.
Mayoritas daging ayam itu diimpor dari Brasil dan Malaysia. Peluang Indonesia masih terbuka lebar karena memiliki sejumlah kelebihan, ujar Fini.
Head Division PT Ciomas Adisatwa Tommy Kuncoro mengatakan ekspor karkas ayam merupakan bentuk lanjutan kerjasama perusahaannya dengan RDTL. Juli lalu, pihaknya telah menjajaki prospek bisnis dan mendapati untuk produk olahan ayam berpeluang besar karena pihaknya memiliki standar mutu berkelas dunia. Apalagi perusahaannya pernah ekspor ke Jepang pada 2002 lalu.
“Selain karkas ayam, PT Ciomas juga akan mengekspor ayam tanpa tulang (boneless chicken), dan produk olahan lainnya seperti sosis, nugget, serta bakso ayam. Harapannya ekspor bisa dilakukan berkelanjutan setiap dua bulan atau tiga bulan sekali,” kata Tommy.
Selain Timor Leste, perusahaan juga tengah menjajaki pasar Hongkong dan Abu Dhabi. Negosiasi bisnis berjalan lancar namun terkendala kebijakan pemerintah karena belum ada kesepakatan antarkedua negara. Harapannya pemerintah bisa membantu pelaku usaha.
Selain karkas ayam, PT Ciomas juga akan mengekspor ayam tanpa tulang (boneless chicken), dan produk olahan lainnya seperti sosis, nugget, serta bakso ayam. Harapannya ekspor bisa dilakukan berkelanjutan setiap dua bulan atau tiga bulan sekali, kata Tommy
Menjawab keluhan tersebut, Kepala Badan Karantina Pertanian Ali Jamil berjanji segera menindaklanjutinya. Instansinya bertanggungjawab mengurusi sertifikat perdagangan internasional dengan negara-negara tujuan ekspor.
“Saat ini ada empat negara yang sudah bekerjasama dengan Indonesia berupa pengembangan pertukaran data khususnya sertifikat perkarantinaan secara elektronik (e-certificate),” ucap Ali.
Empat negara itu adalah Belanda, Selandia Baru, Australia dan Vietnam. Target Badan Karantina Pertanian tahun ini mengembangkan program sertifikat elektronik di sepuluh negara terutama negara-negara di kawasan Eropa. Komitmen sudah ada tinggal implementasinya.
Pekerjaan rumah lainnya yang harus diselesaikan pemerintah adalah menjaga iklim usaha di sektor peternakan tetap kondusif. Saat ini produk ayam dan olahannya bisa berkompetisi di pasar ekspor karena produksi sedang tinggi atau surplus dan harga kompetitif.
Pemerintah diharapkan mengintervensi usaha peternakan melalui regulasi. Tujuannya membuat industri peternakan nasional lebih efisien sehingga berdaya saing tinggi. Kompetitor di Asia antara lain Thailand, Malaysia, dan China mampu memproduksi ayam hidup dengan harga Rp 14.000 per kg.